Pulau Masakambing, pulau kecil seluas 779,10 Ha terletak di sebelah utara Pulau Masalembu. Di pulau yang didominasi oleh ladang masyarakat, semak belukar, dan mangrove ini merupakan habitat bagi Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea abbotti). Kakatua kecil ini merupakan 1 dari 4 anak jenis Kakatua Kecil Jambul Kuning yang ada di Indonesia, 3 yang lainnya adalah Cacatua sulphurea sulphurea (Sulawesi), Cacatua sulphurea parvula (Nusa Penida, Bali, NTT, P. Komodo), dan Cacatua sulphurea citrinocristata (TN. Manupea Tanahdaru, Pononumbu, Sumba).
Dalam paparannya, Dhany Triadi, S.hut, M.Si., menjelaskan Kakatua kecil jenis Abbotti ini merupakan satwa prioritas yang harus ditingkatkan 10% jumlahnya, itu berarti pada tahun 2019 nanti jumlahnya 26 ekor.
Dhany yang menjabat sebagai Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Muda di Seksi Konservasi Wilayah (SKW) IV Pamekasan, memberikan paparannya pada kegiatan Seminar Fungsional yang diadakan oleh BBKSDA Jatim, di Kantor SKW III Surabaya, 9 Mei 2017.
Dalam paparan yang berjudul “Strategi Pengelolaan Populasi Kakatua Jambul Kuning di Masakambing”, Dhany menjelaskan beberapa permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan populasi kakatua ini. Seperti, penebangan pohon-pohon sarang, tidur, dan pakan yang letaknya di ladang milik masyarakat. Kemudian masih adanya anggapan bahwa kakatua itu hama bagi kebun masyarakat, serta belum adanya perhatian dari pemerintah daerah terhadap keberadaan burung kakatua ini.
Sebenarnya di Masakambing terbentang hutan bakau / mangrove yang cukup luas, hanya saja hingga kini tim belum mendapatkan informasi mengenai status mangrove ini. Baik dari pihak Perum Perhutani, DKP Kabupaten Sumenep, maupun Dinas Kehutanan Sumenep, hutan mangrove tersebut bukan bagian dari wilayah pengelolaan mereka. Ada harapan ke depan bagi Dhany, kawasan mangrove di Masakambing bisa masuk ke dalam Kawasan Ekosistem Esensial, sehingga dapat terkelola dengan baik.
Tidak Satu Kaki
Selama ini kehadiaran BBKSDA Jatim di Pulau Masakambing masih terbatas pada kegiatan monitoring jumlah kakatua dan penyuluhan kepada masyarakat. Menurut Dhany seharusnya ada kegiatan lanjutan, lebih sekedar memonitor.
“Ke depan diharapkan ada pengelolaan yang tidak hanya satu kaki, tapi banyak kaki, kegiatan kita selayaknya berpadu dengan kegiatan NGO yang telah ada, juga dengan kegiatan dari pemerintah daerah”, imbuh pria berkacamata ini.
Ekowisata di Masakambing dapat didorong, karena di pulau ini ada kakatua yang hidup dengan bebas serta hutan mangrove yang masih cukup baik dan alami. Untuk menuju ke titik ini tentu dibutuhkan perjuangan dan kegiatan-kegiatan yang intens dan berpadu. Jika Masakambing masuk sebagai KEE, tentu pengelolaan banyak kaki dan menjadi tujuan ekoswisata dapat terwujud secara bertahap.
Namun, Dhany tetap mengingatkan mengenai kapasitas optimum bagi pulau Masakambing terhadap perkembangan burung kakatua. Ini perlu diperhitungkan, jika memang ke depan perkembangbiakannya baik, tentu semua pihak terutama masyarakat tidak ingin burung ini benar menjadi hama karena jumlahnya yang telah melampui kemampuan habitat untuk menampungnya. (Agus Irwanto)