Pengelolaan kawasan konservasi bersendikan 3 pilar, yakni perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Dalam kenyataannya, pengelolaan kawasan konservasi belum dilakukan secara proposional, kegiatan perlindungan dan pemanfaatan lebih dominan, aspek pengawetan relatif belum banyak disentuh.
Peningkatan kapasistas lembaga unit terkecil dalam hal ini resort, adalah salah satu upaya pembenahan kedalam terhadap suatu pengelolaan kawasan konservasi. Sebagai ujung tombak dari suatu keberhasilan pengelolaan kawasan hutan adalah terletak pada peranan petugas lapangan (resort) sebagai unit pengelolaan terkecil.
Dalam pengelolaan kawasan konservasi muncul berbagai permasalahan yang mendasari akan pentingnya pengelolaan berbasis resort, beberapa rumusan masalah tersebut antara lain :
1.Perkembanga kompleksitas permasalahan. Tekanan terhadap kawasan yang semakin meningkat, alih fungsi kawasan, perambahan kawasan, regulasi peraturan yang lambat serta berbagai permasalahan terkait dengan pemantapan kawasan hutan sebagai acuan bagi pengelola kawasan hutan.
2.Belum adanya Assesment biodiversity dan ecosystem secara sistematis yang menghasilkan gambaran penting suatu jenis spesies dan ekosistem yang nantinya menjadi tolak ukur dikemudian hari terhadap sistem pengelolaan kawasan konservasi.
3.80 % pengelolaan kawasan konservasi masih bersifat pengamanan dan pemanfaatan, sedangkan kegiatan pengawetan relatif belum dioptimalkan.
Sebagai upaya untuk menyikapi kompleksitas berbagi permasalahan yang muncul, maka sebagai langkah awal dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort adalah dengan memberdayakan resort sebagai unit pengelolaan terkecil di lapangan, sehingga tidak cukup hanya di tingkat Seksi Konservasi Wilayah saja. SDM di tingkat resort akan bekerja pada dua fokus secara pararel dan sinergis. Ke dalam kawasan melakukan pengamanan, patroli, inventarisasi, monitoring, pengendalian, pemantauan, dan evaluasi. Ke luar, mampu membangun komunikasi dan kemitraan dengan berbagai komponen di desa-desa yang berinteraksi khususnya yang bersentuhan langsung dengan kawasan konservasi.
Assesment biodiversity dan ecosystem secara sistematis akan menghasilkan gambaran penting suatu jenis spesies dan ekosistem (key features diversity) yang nantinya menjadi tolak ukur dikemudian hari terhadap sistem pengelolaan kawasan konservasi. Key features diversity yang merupakan gambaran penting keanekargamanhayati dari suatu kawasan dapat diperoleh dari assesmen interaksi manusia (terutama bersifat ancaman) terhadap kawasan tersebut. Lewvel resort sebagai ujung tombak dari pengeolaan kawasan konservasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan Assesment biodiversity dan ecosystem serta penentuan Key features diversity untuk memunculkan suatu keluaran hasil yang diinginkan oleh Balai sebagai penentu kebijakan.
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan modal pokok bagi pengelola kawasan konservasi dalam menjalankan berbagai kegiatan pengelolaan terutama Assesment biodiversity dan ecosystem serta penentuan Key features diversity sebagai pedoman awal bagi keberlanjutan pengelolaan di samping upaya perlindungan dan pengamanan hutan.
Di masa lalu, SDM kehutanan lebih dikenal dengan sebutan ”orang PPA”. Mengapa mereka lebih dikenal sebagai ”orang PPA”? jawabannya mudah, karena mereka secara rutin berada di lapangan, bekerja di lapangan. Dalam perkembangannya, semakin sedikit SDM yang bekerja di lapangan. Ke lapangan hanya ketika ada kegiata patroli atau lainnya. Maka, hutan-hutan menjadi semakin tidak terjaga, batas kawasanpun semakin tidak jelas. Dengan pengalaman selama 30 tahun terakhir, maka ke depatn, tidak ada pilihan kecuali mengembalikan SDM pengelola kawasan ke lapangan, bekerja di lapangan, bekerja di tingkat resort, menjaga hutan, dan sekaligus menemukenali berbagai persoalan dan potensi-potensi yang dapat dikembangkan dari pengelolaan kawasan konservasi di satu sisi dan peningkatan masyarakat di sisi yang lainnya.
Maka, sudah waktunya sarjana-sarjana khususnya kehutanan, untuk kembali ke hutan. Turun di desa-desa sekitar hutan, menjaga kawasan-kawasan konservasi. Dan tidak terjebak sekedar menjadi administrator konservasi di belakang meja birokrasi. Dalam konteks Pengelolaan berbasis manajemen resort, sarjana-sarjana harus mulai bekerja dari resort, menjadi staf atau kepala resort, agar bisa mengetahui dengan pasti permasalahan-permasalahan dan fakta-fakta konkrit di kawasan konservasi.
Sumber :
Dwi Ariyanto, S.Hut. 2009. Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Resort. Banyuwangi.
Wiratno, Ir. 2011. Apa Hubungannya Resort-Based Management dengan Revolusi Cina. Jakarta.