Pelepasliaran Pecuk Padi Hitam Warnai Festival Mangrove ke-8 Jawa Timur di Bangkalan

Share

Langit Bangkalan siang itu tampak berat oleh awan, sementara angin laut membawa aroma asin yang khas. Di antara suara debur ombak Pantai Martajasah, sepuluh ekor burung Pecuk Padi Hitam (Phalacrocorax sulcirostris) mengepakkan sayapnya untuk pertama kali menuju kebebasan. Hitam legam bulunya kontras dengan air laut keperakan yang berkilau di bawah cahaya redup.

Burung-burung air itu bukan berasal dari alam liar, melainkan hasil pengembangbiakan Lembaga Konservasi PDTS Kebun Binatang Surabaya (KBS). Setelah melalui proses perawatan dan observasi oleh tim medis serta kurator satwa, kesepuluh individu ini dinyatakan siap dilepaskan ke habitat alaminya. Pelepasliaran tersebut menjadi bagian penting dari upaya reintroduksi satwa perairan ke wilayah ekosistem mangrove di Jawa Timur.

Pelepasliaran dilaksanakan dalam rangka Festival Mangrove ke-8 Jawa Timur, yang digelar oleh Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur pada 3 November 2025 di Pantai Martajasah, Kabupaten Bangkalan. Kegiatan ini dihadiri oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Dirjen Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan Kementerian LHK, Bupati Bangkalan, Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur, serta Akhadi Wira Satriaji (Kaka Slank), musisi yang dikenal sebagai pegiat lingkungan dan penggerak gaya hidup ramah energi.

Sebelum kandang-kandang dibuka, Tim dari Seksi Konservasi Wilayah IV Pamerkasan Balai Besar KSDA Jawa Timur memberikan pengantar ilmiah kepada para tamu undangan. Mereka menjelaskan bahwa Pecuk Padi Hitam merupakan burung air pemakan ikan kecil yang berperan sebagai indikator ekologis bagi ekosistem pesisir. Keberadaannya menandakan perairan yang sehat dan rantai makanan yang seimbang.

“Pelepasliaran ini adalah upaya untuk mengembalikan peran ekologis satwa di alam,” jelas Disik Sutrisno, Penyuluh Kehutanan Seksi KSDA Wilayah IV Pamekasan. “Burung ini tidak hanya bagian dari keindahan, tetapi juga penjaga keseimbangan hayati di kawasan pantai dan mangrove.” imbuhnya.

Momen sakral itu tiba ketika Gubernur Khofifah, bersama Kaka Slank dan para pejabat lain, membuka pintu kandang satu per satu. Dalam cuaca yang cerah, burung-burung itu melesat ke udara, sayapnya mengibas menyambuut kebebasan. Beberapa melintas di atas area mangrove muda yang baru ditanam, sebelum akhirnya menghilang ke arah cakrawala.

Suasana hening sejenak. Sorot mata para peserta, mulai dari aparat pemerintah, komunitas lingkungan, hingga masyarakat pesisir, terpaku pada langit yang kini diwarnai gerakan sayap hitam yang bebas. Pelepasliaran itu menjadi simbol nyata dari harapan dan kolaborasi, antara lembaga konservasi, pemerintah, dan masyarakat dalam menjaga kesinambungan kehidupan.

Burung-burung yang lahir di bawah pengawasan manusia kini kembali ke habitat alaminya. Sebuah perjalanan ekologis yang penuh makna, dari kandang konservasi menuju bentang pesisir yang menjadi rumah sejati mereka.

Kegiatan ini juga menegaskan sinergi multipihak dalam konservasi ekosistem mangrove Jawa Timur, yang kini menjadi provinsi dengan luasan mangrove terbesar di Pulau Jawa, mencapai hampir 30.839 hektare. Di sela kegiatan penanaman mangrove dan edukasi masyarakat, pelepasliaran ini menjadi penanda bahwa konservasi bukan hanya tentang menanam pohon, tetapi juga mengembalikan kehidupan yang pernah hilang.

Saat para peserta beranjak dari pantai, sepuluh sayap hitam itu sudah menjauh. Mereka membawa pesan yang tak terucap, bahwa setiap makhluk, sekecil apapun, berhak atas kebebasan dan tempatnya di bumi. Dan manusia, dengan segala ilmunya, memiliki tanggung jawab untuk memastikan hal itu tetap terjaga.(dna)

Sumber: Bidang KSDA Wilayah 2 Gresik – Balai Besar KSDA Jawa Timur