Pejuang Kilometer, Kartini Rimba di Sudut Madiun

Share

Di balik deru kendaraan yang menembus hutan dan pemukiman, Rahma Widyanti berdiri sebagai simbol keberanian perempuan dalam konservasi. Satu-satunya Kepala Resort perempuan di Balai Besar KSDA Jawa Timur, ia tak hanya menjaga satwa, tapi juga menyeimbangkan cinta, tugas, dan pengorbanan.

Saat sebagian besar orang terlelap dalam kehangatan rumah, Rahma Widyanti justru berada di tengah jalan sunyi, lampu kendaraan menembus gelap, menuju laporan konflik satwa yang masuk dari pinggiran Magetan. Di kursi belakang mobilnya, tergeletak kotak evakuasi, jaring tangkap, dan peta wilayah. Bukan untuk pencitraan, bukan untuk penghargaan, melainkan untuk satu kata, pengabdian.

Sejak tahun 2019, Rahma dipercaya memimpin Resort Konservasi Wilayah (RKW) 05 Madiun di bawah Seksi KSDA Wilayah II Bojonegoro. Saat ini, ia menjadi satu-satunya perempuan yang bertahan menjadi Kepala Resort di BBKSDA Jatim. Namun, status itu bukan kebanggaan yang membuatnya angkuh, justru menjadi sebuah tanggung jawab yang ia emban dengan hati. Dalam dunia konservasi yang didominasi laki-laki, Rahma hadir sebagai Kartini masa kini yang menembus batas-batas ruang, medan, dan waktu.

Wilayah kerjanya luas, Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Magetan, hingga Ngawi. Empat kabupaten-kota yang tak memiliki kawasan konservasi in-situ seperti cagar alam atau suaka margasatwa. Tapi justru menyimpan kekayaan hayati yang tersebar di luar kawasan, di balik tembok kebun binatang mini, taman wisata, kandang penangkaran, hingga pemukiman padat. Ia menyebutnya sebagai “konservasi dalam keramaian”.

“Wilayah kami bisa dijangkau kendaraan, seberapa jauh pun,” kata Rahma.

Maka dari itu, mereka menjuluki diri sebagai “Pejuang Kilometer” karena pekerjaan mereka bukan tentang tinggal di satu pos, tapi menjelajah dan menjangkau.

Setiap langkah Rahma adalah keputusan. Sebagai seorang ibu dengan anak kecil, dan seorang istri yang terpisah jarak dari suami, hidupnya adalah arena kompromi yang tak selalu adil. Kadang, konflik satwa datang saat ia sedang menidurkan anak. Kadang, evakuasi satwa memaksanya pulang tengah malam dengan tubuh letih dan batin gamang.

“Tugas ini memang pilihan. Tapi tidak boleh ada yang benar-benar dikorbankan,” ucapnya lirih. Kalimat itu mengendap dalam, menyiratkan kesunyian seorang Kartini yang tak banyak diceritakan.

Namun di balik kesulitan itu, ada kebahagiaan kecil namun bermakna besar. Seperti ketika seekor satwa berhasil dievakuasi tanpa terluka, atau saat warga yang semula menolak akhirnya bersedia melepaskan satwa peliharaan liar ke alam. Rahma menyebutnya “kemenangan sunyi”, karena tidak selalu mendapat sorotan, namun berdampak nyata.

Di Hari Kartini ini, Rahma Widyanti bukan sedang memperjuangkan emansipasi dalam pidato, tapi dalam langkah nyata di lapangan. Ia adalah gambaran Kartini masa kini, yang mengenakan seragam rimbawan, memegang alat dokumentasi satwa, dan berani mengambil keputusan dalam sunyi.

Dunia konservasi bukan milik laki-laki saja. Alam pun tak membedakan siapa yang melindunginya, asal dilakukan dengan cinta dan kesungguhan. Dan di tengah medan berat itulah, Rahma tetap berjalan, dengan langkah pasti seorang perempuan, seorang ibu, dan seorang pemimpin “Pejuang Kilometer”.

Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Madya pada Balai Besar KSDA Jawa Timur.