Misteri Jejak Macan Tutul Jawa Di Jantung Hutan Dataran Tinggi Yang

Share

Jejak samar di tanah lembab itu membawa harapan. Di balik dedaunan yang rimbun, kamera pengintai terus merekam, mencari sosok bayangan terakhir Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas). Namun, lebih dari sekedar pencarian predator puncak Pulau Jawa, ekspedisi ini justru mengungkap kisah lain. Sebuah kisah tentang perburuan liar, perambahan hutan, dan perjuangan mempertahankan ekosistem yang kian terdesak.

Tim dari Yayasan Sintas Indonesia bersama Balai Besar KSDA Jawa Timur memasang 164 kamera pengintai di 80 titik strategis di Blok Dataran Tinggi Yang dalam wadah kolaboratif Javan-Wide Leopard Survey (JWLS). Dengan dukungan PT. Djarum selaku donor dan organisasi dan masyarakat lokal selaku pelaku utama tingkat tapak kegiatan tersebut dilaksanakan pada Desember 2024 hingga Februari 2025.

Misi ini bertujuan mengumpulkan data populasi macan tutul dan preferensi mangsanya. Namun, saat menyusuri jalur-jalur satwa yang nyaris tak terlihat, mereka menemukan sesuatu yang lebih mencengangkan: jerat pemburu bertebaran di titik-titik rawan, tanda-tanda pembalakan liar makin marak, dan ekosistem hutan berada di ambang krisis.

 

Menyusuri Jejak Sang Hantu Rimba, Menaklukkan Medan
Macan Tutul Jawa adalah satu-satunya kucing besar yang tersisa di Pulau Jawa setelah Harimau Jawa dinyatakan punah beberapa dekade lalu. Sebagai predator puncak, perannya sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Namun, data perjalanan, menunjukkan betapa sulitnya menemukan mereka. Beberapa tanda kehadiran ditemukan, jejak kaki samar di tanah basah, cakaran di batang pohon, dan feses yang tertinggal di jalur jelajahnya.

“Tanda-tanda ini mengindikasikan bahwa macan tutul masih ada di hutan ini, tetapi populasinya mungkin jauh lebih kecil dari yang kita harapkan,” ujar Ummi Farikhah, Koordinator Java-Wide Leopard Survey (JWLS) Region Timur.

Bagi para peneliti dan ranger yang terlibat, setiap langkah adalah tantangan. Hujan deras yang hampir tak henti mengguyur, menghambat setiap jejak-jejak langkah. Sungai yang meluap mempersulit akses, dan medan berbukit terjal menguji daya tahan fisik mereka.

“Kami harus membawa peralatan berat, memasang kamera di titik-titik strategis, sambil tetap waspada terhadap ancaman di sekitar,” tambah Ummi Farikhah.

Bagi ranger seperti Gilang Refo Gumelar dan Alfikri Farhan Novanto dari BBKSDA Jatim, ancaman nyata bukan hanya cuaca ekstrem, tapi juga aktivitas ilegal manusia.

“Kami menemukan jerat di beberapa lokasi strategis. Ini mengkhawatirkan karena bukan hanya Macan Tutul yang terancam, tetapi juga Rusa, Lutung, bahkan Merak Hijau,” kata Samhaji, salah satu ranger dalam ekspedisi ini.

Salah satu tantangan terbesar dalam pelacakan ini adalah luasnya bentang alam yang masih liar dan medan yang sulit. Hujan deras memperburuk situasi, membuat akses ke titik-titik kamera menjadi lebih sulit.

Selain itu, aktivitas manusia semakin mendesak batas wilayah Macan Tutul, membuatnya semakin sulit untuk bertahan. Meski dihadapkan pada kondisi berat, tim tetap berkomitmen. Kamera yang telah dipasang merekam selama 90 hari sebelum dievaluasi pada Akhir Mei 2025.

Mengintip Kehidupan Liar
Di luar ancaman yang membayangi, tim survey juga menemukan kehidupan liar yang masih bertahan di dalam hutan. Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) beberapa kali teramati sedang bergelantungan di dahan, sementara Merak Hijau (Pavo muticus) terlihat sesekali melintas dengan gema suaranya di antara pepohonan.

Di lantai hutan, tanda keberadaan Trenggiling Jawa (Manis javanica) terungkap melalui bekas galian pakan. Kucing Kuwuk (Prionailurus bengalensis), salah satu kerabat kecil Macan Tutul, juga teridentifikasi melalui feses yang ditemukan tim.

“Ini membuktikan bahwa meski perambahan meningkat, predator kecil masih bertahan di sini,” ujar Ummi Farikhah.

Dari atas kanopi, Elang Ular Bido (Spilornis cheela) kerap mengawasi pergerakan di bawahnya, sementara suara khas Rangkong Badak (Buceros rhinoceros) menjadi pertanda bahwa hutan ini masih menyimpan ekosistem yang kaya. Namun, tak semua temuan membawa kabar baik. Bangkai burung dan mamalia kecil yang ditemukan di beberapa titik mengindikasikan masih adanya perburuan liar.

 

Berpacu dengan Waktu
Dengan ancaman yang semakin nyata, tim survey berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan ekosistem Dataran Tinggi Yang. Data yang terkumpul nantinya bukan hanya untuk memperkirakan populasi macan tutul dan memahami bagaimana perubahan lanskap mempengaruhi keberlangsungan hidupnya, tetapi juga menjadi dasar kebijakan konservasi yang lebih efektif.

Kepala BBKSDA Jatim, Nur Patria Kurniawan, menegaskan bahwa survei ini merupakan langkah penting dalam upaya konservasi Macan Tutul Jawa yang populasinya kian terdesak.

“Upaya perlindungan macan tutul jawa tidak hanya sekedar memantau populasinya, tetapi juga memastikan habitatnya tetap terjaga dan bebas dari ancaman. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga keberlanjutan ekosistem ini,” ujarnya.

Namun, apakah itu cukup? Tekanan terhadap habitat Macan Tutul terus meningkat. Jika langkah konservasi yang lebih tegas tidak segera diambil, hutan di Dataran Tinggi Yang mungkin hanya akan menyimpan cerita tentang predator megah yang pernah menguasai puncak rantai makanan, tetapi akhirnya menghilang.

Ketika malam kembali turun dan hutan kembali sunyi, harapan masih menyala bahwa macan tutul jawa akan terus bertahan, jika manusia memberinya kesempatan.

Sumber: Fajar Dwi Nur Aji – Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda pada BBKSDA Jatim