Di langit timur Pulau Jawa, di antara kabut tipis lereng Arjuno hingga hutan perawan Alas Purwo, sayap-sayap tua masih terbang rendah dengan mata menyala menantang waktu. Dialah Nisaetus bartelsi, Elang Jawa, sang garuda, lambang negara, sekaligus penjaga sunyi hutan yang kini semakin terdesak oleh peradaban.
Dari balik kanopi hutan yang terfragmentasi, secara kolektif Balai Besar KSDA Jawa Timur (BBKSDA Jatim) mencatat satu babak penting dalam sejarah konservasi. Upaya menyeluruh memetakan, menjaga, dan menyelamatkan keberlangsungan sang pemangsa langit di tanah Jawa.
Langkah tersebut dipertegas dalam kegiatan nasional bertajuk “Peninjauan Status Sebaran dan Populasi Elang Jawa (Nisaetus bartelsi)” yang dilaksanakan pada Senin, 28 Juli 2025. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal KSDAE Kementerian Kehutanan secara daring dan luring. Kegiatan dihadiri tidak kurang dari 270 peserta dari berbagai latar belakang, mulai dari akademisi, UPT lingkup Ditjen KSDAE, pemerhati konservasi, perwakilan lembaga konservasi, hingga pelaku dunia usaha.
Yang menambah bobot acara ini adalah kehadiran perwakilan CSR PT. Djarum Indonesia, yang menunjukkan keterlibatan sektor swasta dalam mendukung konservasi spesies langka seperti Elang Jawa. Kolaborasi multipihak menjadi salah satu titik krusial dalam rencana jangka panjang pelestarian burung pemangsa endemik ini.
BBKSDA Jatim memaparkan bahwa hingga pertengahan 2025, terdapat setidaknya 14 kantong populasi Elang Jawa di berbagai bentang alam di Jawa Timur. Dari Gunung Sigogor hingga Meru Betiri, dari Kawah Ijen hingga Pulau Nusa Barung, populasi ini masih bertahan di tengah tekanan luar biasa. Di Cagar Alam Besowo Gadungan dan Suaka Margasatwa Pulau Nusa Barung, bahkan terdeteksi keberadaan individu muda, menandakan masih berlangsungnya proses reproduksi di alam liar.
Namun, keindahan ini berbanding lurus dengan ancamannya. Fragmentasi habitat, perburuan ilegal, dan perdagangan daring menjadikan wilayah timur Jawa sebagai zona merah. Kota Surabaya bahkan diidentifikasi sebagai salah satu simpul utama distribusi ilegal elang dan satwa liar lainnya.
BBKSDA Jatim sendiri telah melakukan penyelamatan terhadap 15 individu Elang Jawa sejak 2018 hingga 2025. Namun, penyelamatan hanyalah satu sisi dari mata uang konservasi.
“Konservasi Elang Jawa adalah wujud nyata komitmen kita menjaga ekosistem hutan Jawa. Balai Besar KSDA Jawa Timur siap mendukung penyusunan SRAK 2026–2035 dengan pendekatan yang kolaboratif, berbasis data, dan terintegrasi dengan pembangunan berkelanjutan”, ungkap Nur Patria Kurniawan, Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur secara terpisah.
Melalui forum nasional ini, Direktorat Jenderal KSDAE juga mulai menyusun draft Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Elang Jawa 2026–2035, menggantikan dokumen SRAK sebelumnya yang telah berakhir masa berlakunya pada 2022. Inisiatif ini merupakan bagian dari refleksi tiga dekade konservasi Elang Jawa, sebagai upaya menjawab tantangan populasi dan perubahan lanskap habitat di seluruh Pulau Jawa.
Keterlibatan dunia akademik, lembaga konservasi, dan sektor swasta seperti CSR PT. Djarum membuka jalan baru bagi konservasi modern, sinergi ilmu pengetahuan dan tanggung jawab sosial. Di langit Jawa Timur yang mulai senyap dari pekikan sang garuda, BBKSDA Jatim mengajak kita semua kembali melihat ke atas, karena setiap kepak sayap Elang Jawa adalah gema dari hutan yang masih ingin bicara.
Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda di Balai Besar KSDA Jawa Timur.