Luka telah Sembuh, Trenggiling Kembali ke Alam

Share

Mentari nyaris tenggelam di balik lembah Taman Wisata Alam Gunung Baung saat suara langkah tim Matawali memecah kesunyian rumpun bambu. Kamis, 17 Juli 2025 menjadi hari kepulangan bagi dua makhluk malam yang pemalu namun tangguh, Trenggiling (Manis javanica). Di dalam kandang transportasi yang dijaga ketat, sepasang trenggiling tampak tenang, seolah tahu bahwa saat itu adalah momen penting, kembali pulang ke rimba.

Salah satu dari mereka adalah penyintas. Ia ditemukan dalam kondisi terluka di Kabupaten Mojokerto, tak berdaya, dengan luka terbuka di tubuh dan gerakan yang lamban. Trenggiling ini bukan hewan biasa.

Trenggiling ini memulai perjalanannya dalam siklus penyelamatan satwa liar yang dikenal sebagai 3R, Rescue – Rehabilitasi – Release. Di bawah perawatan tim Matawali dan dokter hewan Wildlife Rescue Unit BBKSDA Jawa Timur, luka itu perlahan sembuh. Insting alaminya mulai tumbuh kembali setelah beberapa minggu pemulihan dan rehabilitasi.

Rescue (Penyelamatan), Trenggiling diselamatkan dari lokasi yang mengancam kelangsungan hidupnya. Dalam kondisi cedera, satwa ini langsung dievakuasi ke kandang transit Wildlife Rescue Unit (WRU) BBKSDA Jawa Timur.

Rehabilitasi (Pemulihan), di kandang transit, dokter hewan dan tim WRU melakukan perawatan intensif. Luka-luka dibersihkan, pola makan alami diperkenalkan, dan perilaku liar mulai dikembalikan. Proses ini tidak sebentar, membutuhkan waktu hingga satwa menunjukkan tanda-tanda pulih, baik secara fisiologis maupun etologis (perilaku alami).

Release (Pelepasliaran), Setelah dinyatakan sehat dan siap secara insting, trenggiling kembali ke habitat alaminya. Proses pelepasliaran dilakukan di kawasan konservasi yang aman dan sesuai dengan kebutuhan ekologis spesies.

Episode demi episode penyelamatan ini menjadi kisah nyata tentang harapan. Di titik akhir perjalanannya sebagai pasien, ia justru kembali menjadi makhluk liar yang utuh, siap menjalani takdirnya sebagai bagian penting dari ekosistem.

Pelepasliaran dilakukan secara hati-hati dan penuh kehormatan. Tim Matawali dari Resort Konservasi Wilayah 17 Pasuruan menjadi pengawal utama operasi ini. Pendampingan medis tetap diberikan oleh dokter hewan yang setia mengikuti perkembangan trenggiling sejak awal. Mereka memastikan bahwa kedua satwa telah benar-benar siap dilepasliarkan, baik secara fisiologis maupun perilaku.

“Trenggiling adalah spesies pemalu yang sulit diselamatkan jika sudah terluka parah. Pelepasliaran ini adalah bentuk keberhasilan kolaboratif, antara manusia, ilmu pengetahuan, dan alam,” ujar Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur, Nur Patria Kurniawan, saat dihubungi usai pelepasliaran.

Langkah ini juga menjadi bagian dari upaya memperingati Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2025, sekaligus menyerukan pentingnya pelibatan publik dalam menyelamatkan satwa-satwa langka Indonesia.

Pasangan trenggiling tersebut kini menjadi penjaga baru hutan Gunung Baung, menyemai rantai ekosistem dan melanjutkan peran leluhur mereka dalam menjaga keseimbangan tanah dan semut di dasar hutan. Karena konservasi bukan sekadar menjaga, tetapi mengembalikan yang hilang, dan merawat yang tersisa.

Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda di Balai Bear KSDA Jawa Timur