Lebih dari Magang, Tiara Nathania Belajar Makna Konservasi Sejati di Jantung Pulau Bawean

Share

Dalam waktu singkat, hanya satu minggu, Tiara Nathania bersama kedua rekannya menemukan dirinya berada di tengah perjumpaan yang jarang terjadi, menyatu dengan hutan, mendengar suara satwa liar, sekaligus duduk berdiskusi dengan masyarakat yang masih memegang erat kearifan lokal. Semua itu ia alami saat menjalani magang bersama tim Balai Besar KSDA Jawa Timur, Resort Konservasi Wilayah 10 Pulau Bawean, 23 -27 September 2025.

Hari pertamanya dimulai dengan sebuah misi yang sederhana namun sarat makna: menggali pengetahuan tradisional (Traditional Ecological Knowledge/TEK) tentang tanaman obat. Bersama tim, Tiara mendatangi masyarakat di berbagai sudut Pulau Bawean, mewawancarai mereka mengenai tanaman-tanaman yang sering dipakai sebagai ramuan tradisional.

“Meski ada keterbatasan bahasa, saya belajar bahwa banyak tanaman yang sering kita jumpai ternyata menyimpan khasiat luar biasa. Kegiatan ini bukan hanya menambah wawasan saya, tapi juga mengingatkan pentingnya menjaga kelestarian tanaman obat agar tidak hilang ditelan zaman,” ungkapnya.

Pengalaman berikutnya membawa Tiara ke forum yang lebih luas: sosialisasi dan monitoring-evaluasi pemanfaatan air. Kegiatan ini mempertemukan BBKSDA Jatim dengan kelompok-kelompok pemanfaat air yang ada di Bawean.

Bagi Tiara, forum itu bukan sekadar pertemuan formal. Ia melihat langsung bagaimana komunikasi dua arah terbangun, masyarakat menyampaikan aspirasi, sementara pihak konservasi hadir untuk mendengar dan mendukung. “Bagi saya, kegiatan ini seperti jembatan yang menghubungkan BBKSDA dengan masyarakat. Lewat diskusi ini, tercipta rasa saling menghargai dan percaya,” tuturnya.

Puncak pengalaman Tiara adalah saat ia ikut serta dalam Smart Patrol di kawasan Suaka Margasatwa Bawean. Jalur yang dilalui tidak mudah, berbukit, panjang, dan melelahkan. Namun setiap langkahnya menghadirkan kejutan baru.

Ia mendengar suara khas Cekakak Jawa, menemukan tumbuhan seperti Tanjang gunung, Kendung, Gondang, Badung, dan Duwet, hingga melihat tanda-tanda keberadaan satwa liar, bekas gesekan tanduk Rusa Bawean pada batang pohon, serta jejak kaisan Babi Kutil.

“Semua temuan itu membuat saya merasa seperti sedang membaca buku besar tentang kehidupan liar, hanya saja halamannya adalah tanah, pohon, dan suara hutan,” kata Tiara penuh kagum.

Refleksi Sepekan: Belajar dari Alam dan Tim
Meski baru sepekan, pengalaman itu bagi Tiara adalah momen langka, sulit ditukar dengan apa pun. Ia bukan hanya belajar tentang tumbuhan, satwa, atau kearifan lokal, tetapi juga tentang kerja sama tim dan arti kebersamaan.

“Suatu keberuntungan bagi saya bisa bekerja bersama orang-orang hebat dari BBKSDA Jatim. Pengalaman ini memberi saya banyak ilmu, keterampilan, dan rasa kagum yang akan saya kenang lama,” pungkasnya.

Bagi Tiara Nathania, minggu awal di Bawean bukan sekadar magang. Itu adalah perjalanan batin, perjumpaan dengan pengetahuan lama dan temuan baru, sebuah pengingat bahwa konservasi hidup dalam langkah kecil, dari wawancara sederhana dengan masyarakat, hingga menyusuri jejak rusa di hutan.

Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda Pada Balai Besar KSDA Jawa Timur