Laut Tidak Sanggup Lagi Menanggung Dampak Pemanasan Global

Share

Laut berperan penting dalam melawan pemanasan global dengan menyerap sekitar 93 persen karbon dioksida yang dihasilkan akibat aktivitas manusia.

Terumbu karang yang sekarat, merosotnya jumlah ikan, dan peristiwa cuaca ekstrem menjadi pertanda bahwa laut sedang berada di titik kritis yang berbahaya.

Lautan, bagian planet yang paling menanggung pemanasan global, akhirnya mencapai batas kesanggupannya. Karang-karang yang sekarat, merosotnya jumlah ikan, dan peristiwa cuaca ekstrim menjadi tanda bahwa laut tengah berada di titik kritis yang berbahaya. Demikian laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN).

“Kita semua tahu bahwa lautan mempertahankan planet ini, tetapi kita juga yang membuat lautan ‘sakit’,” ujar direktur umum IUCN, Inger Andersen.

Sejak 1970, perairan di seluruh dunia telah memainkan peran penting dalam melawan pemanasan global dengan menyerap sekitar 93 persen karbon dioksida yang dihasilkan akibat aktivitas manusia.

“Tanpa lautan sebagai penahan, suhu global akan meningkat jauh lebih cepat,” kata Andersen dalam Kongres Konservasi Dunia IUCN, Senin (5/9). Hal senada juga diungkapkan oleh penasehat utama ilmu kelautan dan konservasi Program Perairan Global dan Kutub IUCN, Dan Laffoley.

“Terus terang, jika lautan tidak ada, atmosfer kita sudah akan memanas hanya dengan suhu 36 derajat Celcius,” ujar Laffoley.

Andersen mengatakan, karena pemanasan global terus berlanjut, lautan akan terus memanas antara satu hingga empat derajat Celcius pada 2100. “Dalam skala waktu ekologi, 2100 itu ibarat besok.”

Sebanyak 80 ilmuwan dari 12 negara telah berkontribusi dalam studi tentang pemanasan laut paling komprehensif dan paling sistematis.

“Kami mengamati dari mikroba hingga paus, dari kutub ke kutub, semua ekosistem mayor, termasuk laut dalam,” kata Laffoley.

Dampak pemanasan laut global
Salah satu fenomena yang paling mengkhawatirkan yakni seluruh populasi spesies, seperti plankton, ubur-ubur, penyu dan burung laut, bergerak ke arah kutub demi mencari perairan yang lebih dingin.

Spesies ikan yang pindah dari daerahnya juga dapat mengguncang kestabilan perikanan dunia. Di Asia Tenggara, misalnya, akibat ikan yang meninggalkan daerahnya, perikanan laut diprediksi bakal jatuh hingga 30 persen pada 2050. Di Afrika Timur dan bagian lautan India, yang terumbu karangnya telah banyak mati akibat pemanasan global, banyak spesies ikan yang akhirnya ikut mati, menghilangkan mata pencaharian banyak nelayan.

Prospek suram ini juga mengancam negara-negara yang mengandalkan ekowisata terumbu karang, sebab beberapa area telah kehilangan hingga setengah terumbu karangnya. Di Australia misalnya, hampir 93 persen karang Great Barrier Reef mati akibat pemutihan pada awal tahun 2016.

Model simulasi terbaru memprediksi bahwa pada 2050, pemanasan lautan akan menyebabkan pemutihan hampir semua terumbu karang dunia.

Tinggal di dekat laut atau berinteraksi dengan laut juga dapat meningkatkan resiko terkena penyakit. Karena pemanasan laut dapat dengan cepat menyebarkan patogen seperti bakteri kolera dan ledakan alga yang dapat menyebabkan berbagai penyakit saraf. Selain itu, laut yang menghangat juga dapat menyebabkan cuaca buruk, seperti badai besar dan topan.

Menurut laporan, jumlah badai besar meningkat hingga 30 persen tiap kali suhu global naik satu derajat Celsius. El Nino, pemanasan air berkala di Samudra Pasifik juga telah meningkat selama dua dekade terakhir.

Lantas, bagaimana cara menghentikan semua hal buruk ini?
Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menurunkan suhu di global. Salah satunya, kita harus berhenti mencemari atmosfer dengan karbon, meski tentu saja ini bukan hal mudah. Solusi lainnya, dengan menetapkan area yang seharusnya menjadi kawasan lindung laut.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa kita lah yang menjadi penyebab keadaan ini. Kita tahu apa solusinya, dan kita harus segera melakukannya, sebelum semuanya benar-benar terlambat.

Sumber : nationalgeographic.co.id