Jumat sore, 27 September 2025, hutan Pulau Bawean menyimpan kejutan yang tak disangka. Tim Balai Besar KSDA Jawa Timur bersama Yayasan Generasi Biologi Indonesia dan mahasiswa magang dari Program Studi Sarjana Terapan Pengelolaan Hutan – UGM Yogyakarta berhasil mendokumentasikan kembali Curcuma euchroma Val., atau Kunir Kebo.
Spesies endemik Jawa Timur ini selama puluhan tahun hanya hidup dalam catatan botani klasik. Awalnya dikira temulawak, namun rimpang besar dengan warna pucat kekuningan dan rasa pahit khas segera menegaskan identitasnya, kunir kebo.
Dari Pasar Tradisional ke Catatan Botani
Dalam buku Tumbuhan Berguna Indonesia I 1978, terjemahan oleh Badan Litbang Kehutanan), Kunir Kebo tercatat dengan nama lokal Temu Batok, Temu Kebo, atau Temu Keleke. Deskripsinya jelas dengan rimpang besar, warna lebih pucat daripada kunyit, rasa lebih pahit, namun memiliki khasiat yang berbeda.
Catatan lama menyebutkan bahwa tanaman ini dahulu kerap dijumpai di pasar Malang, Madura, dan Bondowoso. Pada masa kolonial, rimpang kunir kebo bahkan sempat menjadi komoditas ekspor, berkat ukurannya yang masif dan manfaatnya yang luas, termasuk bahan ramuan tradisional seperti Boreh Kuning.
Seiring waktu, eksploitasi tanpa konservasi membuat populasinya kian menyusut. Nama kunir kebo hanya bertahan di buku botani, salah satunya catatan tahun 1913, hingga akhirnya nyaris hilang dari alam liar.
Bangkit di Keheningan Bawean
Temuan pada Jumat sore itu menjadi tonggak penting. Dokumentasi lapangan menunjukkan bahwa spesies ini masih bertahan di habitatnya.
“Ini adalah kunir kebo, spesies endemik Jawa Timur yang kini sangat jarang ditemui. Dari segi warna mirip kunyit, tetapi aromanya berbeda, dan manfaatnya sangat luas,” jelas Heri Santoso dari Yayasan Generasi Biologi Indonesia.
Keterlibatan MMP Bawean Lestari dan mahasiswa magang UGM dalam ekspedisi ini mempertegas bahwa konservasi bukan hanya kerja pemerintah, melainkan kolaborasi. Mereka ikut menjadi bagian dari proses dokumentasi, sebuah pengalaman langsung tentang bagaimana menjaga warisan hayati Nusantara.
Harapan Baru untuk Pangan dan Obat
Selain sebagai catatan sejarah, keberadaan kunir kebo membawa harapan baru. Potensinya besar untuk dikembangkan dalam ketahanan pangan maupun industri obat tradisional dan herbal modern.
“Temuan ini bukan sekadar botani, melainkan pengingat bahwa warisan endemik Jawa Timur masih hidup. Kunir kebo adalah bagian dari identitas, sejarah, dan masa depan yang perlu kita jaga bersama,” tegas Nur Patria Kurniawan, Kepala BBKSDA Jawa Timur.
Kunir Kebo pertama kali dideskripsikan pada tahun 1783 dengan nama Amomum zerumbet, sebelum akhirnya berganti nama menjadi Curcuma euchroma pada tahun 1918. Evolusi nomenklaturnya menegaskan perjalanan panjang tanaman ini dalam literatur botani.
Pulau Bawean telah lama dikenal sebagai pulau indah di tengah Laut Jawa. Kini, ia juga tercatat sebagai saksi kebangkitan rempah endemik raksasa Jawa Timur. Dari catatan 1913 hingga Jumat sore, 27 September 2025, perjalanan Kunir Kebo adalah kisah tentang kehilangan, penemuan kembali, dan harapan baru.
Kunir kebo mengingatkan bahwa konservasi bukan hanya menjaga satwa atau hutan, tetapi juga merawat ingatan kolektif tentang tumbuhan yang pernah menjadi denyut kehidupan masyarakat. Dari Pulau Bawean, sebuah kisah lama kini hidup kembali, kisah tentang rempah endemik yang bangkit dari senyap menuju masa depan yang penuh harapan. (dna)
Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda pada BBKSDA Jawa Timur