Di tengah dinamika perubahan lanskap Jawa Timur yang kian cepat, lahir sebuah gagasan besar yang perlahan mengubah cara kita memandang konservasi alam. Ia tidak lagi hanya berdiri di kawasan yang berpagar atau dibatasi garis tata ruang. Kini, upaya pelestarian menyentuh ruang hidup masyarakat, pesisir, hutan produksi, lahan pertanian, hingga pulau-pulau kecil.
Gagasan itu bernama Areal Preservasi (AP) sebagai mandat baru dari UU 32/2024, sebuah pendekatan konservasi yang inklusif, adaptif, dan menghubungkan kepentingan ekologi dengan kesejahteraan manusia. Dalam Rapat Sosialisasi dan Verifikasi Potensi Areal Preservasi Jawa Timur, yang digelar pada 20 November 2025 di Sidoarjo, para pemangku kepentingan lintas sektor berkumpul untuk merumuskan masa depan AP. Mereka membawa data, pengalaman lapangan, dan kegelisahan yang sama, bagaimana melindungi keanekaragaman hayati yang sebagian besar justru berada di luar kawasan konservasi.
Konservasi yang Tidak Lagi Berjarak
Areal Preservasi muncul dari kebutuhan nyata. Indonesia, negara megabiodiversitas yang tengah menghadapi triple planetary crisis mulai dari hilangnya kehati, perubahan iklim, dan polusi, yang memerlukan pendekatan yang lebih fleksibel. Banyak wilayah bernilai ekologis tinggi justru berada di hutan produksi, mangrove desa, perkebunan rakyat, hingga kawasan kelola swasta.
Dr. Mahfudz, M.P., Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, menegaskan hal ini dalam arahannya.
“Enam puluh hingga tujuh puluh persen keanekaragaman hayati Indonesia berada di luar kawasan konservasi. Itulah sebabnya Areal Preservasi menjadi instrumen mutlak untuk menutup celah perlindungan tersebut,” tegasnya.
Beliau juga mengingatkan bahwa perlindungan keanekaragaman hayati merupakan bagian dari lima kebijakan strategis Kementerian Kehutanan, mulai dari menjaga hutan sebagai paru-paru dunia hingga memastikan pengelolaan hutan yang berkeadilan. AP menjadi ruang partisipasi yang memungkinkan semua pihak terlibat tanpa mengubah status legal kawasan.
Pernyataan itu menggambarkan realitas Jawa Timur yang terekam dalam inventarisasi kehati 2021–2023. Dari pesisir Ujung Pangkah yang subur oleh mangrove, hingga dataran rendah Teluk Pangpang yang menjadi jalur burung air migran, banyak ruang-ruang hidup penting yang selama ini belum memiliki perlindungan memadai.
Komitmen Kawasan, Komitmen Manusia
Sosialisasi AP tidak hanya dimaknai sebagai agenda teknis. Ia menjadi ruang penyamaan visi. Dalam pembukaan, Dr. Ir. Jumadi, M.MT., Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, menegaskan urgensi kolaborasi lintas sektor.
“Jawa Timur mengalami dinamika signifikan dalam perubahan fungsi kawasan hutan. AP harus menjadi instrumen yang menyatukan peran pusat, provinsi, kabupaten, hingga desa. Kita harus memastikan bahwa integrasi kebijakan kehutanan dan tata ruang berjalan selaras dengan perlindungan keanekaragaman hayati,” ungkapnya .
AP hadir bukan untuk membatasi aktivitas masyarakat, melainkan memperkuat ruang hidup mereka. Banyak desa pesisir dan masyarakat lokal selama ini justru menjadi penjaga ekosistem paling efektif, sekaligus kelompok pertama yang terkena dampak ketika lingkungan rusak. Konsep AP menempatkan mereka sebagai mitra utama, bukan sekadar penonton atau objek kebijakan.
Areal Preservasi: Ruang Hidup yang Dilindungi Tanpa Mengikat
Dalam paparannya, Ir. Jefry Susyafrianto, M.M., Direktur Pemulihan Ekosistem dan Bina Areal Preservasi, menjelaskan karakter AP secara filosofis dan teknis.
Areal Preservasi adalah instrumen konservasi baru yang fleksibel, inklusif, dan berbasis masyarakat. Ia mendukung target FOLU Net Sink 2030, mengatasi fragmentasi habitat, dan menutup celah perlindungan di wilayah marjinal,” jelasnya .
Beliau juga menegaskan bahwa AP bukan kawasan terlarang dan tidak mengubah status kawasan.
“AP memungkinkan model pembiayaan lebih terbuka, termasuk hybrid funding, dan memberi manfaat konservasi nyata tanpa mencabut hak kelola masyarakat,” tambahnya.
Inilah kekuatan utama AP bahwa perlindungan yang tidak memisahkan manusia dari alam, tetapi justru menyatu dengan ruang hidup mereka.
Data Tidak Pernah Berdusta: Lima Lokasi Prioritas AP Jawa Timur
Berdasarkan hasil inventarisasi kehati dan analisis lanskap, rapat sepakat menetapkan lima lokasi prioritas AP tahun 2025, yaitu Pulau Masakambing, Mangrove Ujung Pangkah, Pantai Kili-kili, Teluk Pangpang dan Galur Pakis.
Kelima lokasi ini merupakan eks-Kawasan Ekosistem Esensial yang terbukti memiliki nilai kehati tinggi dan fungsi ekologis penting, mulai dari habitat burung endemik, mangrove sebagai penyangga pesisir, hingga koridor satwa di kawasan dataran rendah .
Sebuah Peta, Ribuan Asa
Pada sesi inti rapat, Nur Patria Kurniawan, S.Hut., M.Sc., Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur, memaparkan potensi AP di Jawa Timur.
“Areal Preservasi adalah mandat baru yang memperkuat perlindungan keanekaragaman hayati di luar kawasan konservasi. Banyak lokasi memiliki lebih dari 50% nilai kehati tinggi, dan banyak di antaranya berada di lanskap yang rentan tekanan,” jelasnya .
Beliau juga menegaskan bahwa AP tidak bisa berdiri tanpa kerja bersama.
“Pengembangan AP membutuhkan dukungan multipihak. Tanpa kolaborasi Dishut, DLH, Bappeda, Perhutani, pemerintah daerah, lembaga riset, dan masyarakat lokal, AP tidak akan efektif,” ujarnya.
Peta Arahan Areal Preservasi 2025 bukan sekadar dokumen teknis. Ia adalah arah baru pengelolaan ekologi Jawa Timur.
Pelibatan Masyarakat Sebagai Pondasi
Dalam rumusan rapat, seluruh pihak sepakat bahwa pelibatan masyarakat lokal adalah bagian wajib dalam penyusunan profil AP. Mereka adalah saksi hidup ekosistem, pengelola ruang, dan penerima dampak langsung dari konservasi maupun pembangunan.
AP menjadi ruang dialog yang menyatukan nilai ilmiah dengan kearifan lokal. Ia memberi peluang pada masyarakat untuk mendapatkan manfaat ekologis, sosial, dan bahkan ekonomi, selama pengelolaan dilakukan secara berkelanjutan.
Menuju Pengelolaan yang Lebih Adil dan Berkelanjutan
Rapat ditutup dengan kesepakatan penting dimana Lima lokasi prioritas AP disetujui, Verifikasi lapangan dilaksanakan Desember 2025–Maret 2026, Peta Arahan AP dan Rencana Aksi Pengelolaan 2026–2029 akan diselesaikan serta PP turunan UU 32/2024 disiapkan untuk memastikan tata kelola dan insentif berjalan efektif. Hal tersebut dilakukan agar AP menjadi instrumen strategis untuk menjembatani kepentingan ekologi dan kesejahteraan masyarakat.
Areal Preservasi mengingatkan kita bahwa konservasi bukan hanya tentang melindungi kawasan, tetapi juga melindungi relasi manusia dengan alam. Ketika masyarakat dilibatkan sebagai mitra, konservasi berubah menjadi gerakan budaya, gerakan yang tumbuh dari kesadaran, bukan sekadar peraturan.
Jawa Timur kini berada di persimpangan penting. Melalui AP, provinsi ini memberi teladan bahwa pelestarian alam dapat dilakukan dengan cara yang lebih adil, lebih dekat, dan lebih memberdayakan.
Sebuah masa depan baru sedang dibangun, masa depan di mana alam dan manusia berjalan berdampingan, saling menjaga, dan saling menghidupi. (dna)
Sumber: Balai Besar KSDA Jawa Timur