Sidoarjo, 10 November 2025. Di Jawa Timur, di mana gugusan pegunungan menorehkan garis biru di cakrawala dan pulau-pulau kecil di utara memanggil angin yang membawa kisah lama. Ada perjuangan yang nyaris tidak pernah tercatat.
Perjuangan itu tidak hadir dalam parade besar atau suara trompet. Tetapi dalam langkah para penjaga alam yang menyelusup ke hutan sebelum fajar, yang menyusuri pantai ketika gelombang sedang pasang, dan yang mengetuk pintu rumah warga demi menyampaikan pesan sederhana. Bahwa kehidupan di bumi ini hanya bisa berlanjut jika kita menjaganya bersama.
Hari Pahlawan 10 November 2025 memberi jeda yang tepat untuk menengok kembali perjalanan itu. Dengan tema “Pahlawanku Teladanku: Terus Bergerak Melanjutkan Perjuangan,” Balai Besar KSDA Jawa Timur hadir bukan sekedar sebagai institusi pemerintah, tetapi sebagai wakil dari ratusan jiwa yang mempraktikkan kepahlawanan sunyi setiap hari.
Pada jantung tugas pokok dan fungsi konservasi, tim perlindungan kawasan berdiri sebagai garis depan. Polisi Kehutanan menelusuri jalur-jalur yang tak lagi dilalui manusia, membaca perubahan lanskap seperti membaca kalimat yang terhapus angin.
Mereka mengenali tanda bahaya dalam lengkung ranting patah, dalam aroma tanah yang berubah, atau dalam diam yang terlalu panjang di hutan musim. Di beberapa patroli, mereka menemukan jejak jerat yang ditinggalkan pemburu malam. Di hari lainnya, mereka memulangkan para burung pemangsa yang terperangkap dalam jerat keserakahan.
Di belakang mereka, para Pengendali Ekosistem Hutan bekerja seperti para penjaga ingatan. Mereka mengukur kesehatan ekosistem, mencatat pergerakan satwa dari Bawean hingga Nusa Barung, memantau migrasi burung air di Ujung Pangkah, hingga menilai kembali struktur kanopi hutan yang dipengaruhi perubahan iklim. Catatan-catatan mereka membentuk dasar sains yang menjadi tulang punggung konservasi jangka panjang.
Sementara itu, para Penyuluh Kehutanan menapaki ruang sosial dengan cara yang berbeda. Mereka masuk ke rumah-rumah warga penyangga kawasan, berbincang sambil duduk di bale-bale bambu, menjelaskan bahwa menjaga hutan bukan sekadar menjaga pohon, tetapi menjaga musim tanam, menjaga air, menjaga ruang hidup anak cucu.
Banyak dari percakapan itu membuahkan gerakan kolektif lingkup desa, yang kemudian bertumbuh menjadi jejaring Masyarakat Mitra Polhut, warga yang memilih ikut menjaga alam bukan karena diwajibkan, tetapi karena merasa bagian darinya.
Dari lingkar luar, kader konservasi dan generasi muda datang membawa semangat baru. Mereka memotret burung dengan kamera ponsel, menulis ulang cerita alam di media sosial, mengorganisir aksi bersih pantai, hingga membuat peta kecil rumah-rumah satwa di kampung mereka. Suara mereka, yang dulu sering dianggap kecil, kini menjadi salah satu seruan paling keras dalam gerakan konservasi modern.
Seluruh energi ini, yang kadang saling berjauhan tetapi selalu saling menguatkan, berpusat pada arah kerja Balai Besar KSDA Jawa Timur. Alam telah menjadi arena pengabdian kolektif.
Dari penyelamatan satwa korban interaksi negatif manusia dan satwa, rehabilitasi elang yang dilepasliarkan kembali ke langit, pemulihan mangrove yang merawat garis pantai, hingga pengelolaan pulau-pulau kecil dengan sains sebagai kompasnya. Pada setiap proses, ada tekad yang sama, yaitu memastikan keanekaragaman hayati tetap hidup.
Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur, Nur Patria Kurniawan, menyampaikan refleksi yang merangkum esensi perjuangan itu.
“Para pahlawan negeri ini mengajarkan kita untuk menjaga sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Konservasi adalah wujud nyata pelajaran itu. Yang kami lakukan bukan sekadar tugas instansi, tetapi panggilan untuk memastikan bumi tetap memberikan kehidupan bagi generasi mendatang. Semangat itu yang terus kami hidupkan dalam setiap patroli, setiap penelitian, setiap dialog dengan masyarakat, dan setiap satwa yang berhasil kembali ke alam.”
Pernyataannya menggambarkan bahwa konservasi di Jawa Timur berdiri pada perjumpaan antara sains, keberanian, dan empati, perpaduan yang membentuk fondasi perlindungan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Di akhir setiap hari, ketika cahaya terakhir merayap di celah kanopi, hutan menyimpan kisah-kisah kecil tentang para penjaganya. Kisah tentang penyu yang berhasil menetas karena pantai diamankan, tentang rusa yang kembali terbaca jejaknya di kamera trap, tentang pohon-pohon muda yang ditegakkan kembali setelah badai, dan tentang satwa-satwa yang pulih setelah lama sakit.
Kepahlawanan dalam dunia konservasi tidak memiliki panggung megah, tetapi ia memiliki dampak yang tak terukur. Dan selama para penjaga alam Jawa Timur terus bergerak, teladan itu akan selalu hidup, untuk menghubungkan masa lalu yang berani, masa kini yang bekerja, dan masa depan yang ingin tetap hijau.
Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda di Balai Besar KSDA Jawa Timur