Kisah Daeng Usman dan Beka, Penjaga Langit Masakambing

Share

Di sebuah rumah sederhana yang menghadap rimbun pohon pidada dan debur ombak kecil di kejauhan, seorang lelaki paruh baya menyipitkan mata menatap langit. Di atasnya, terbang bebas dua ekor Beka atau Kakatua Kecil Jambul Kuning yang dulu ia rawat dengan tangan sendiri. Hari itu, 8 April 2025, adalah hari yang tak akan pernah ia lupakan.

Namanya Usman Daeng Mangung, tapi di kalangan pegiat konservasi ia dikenal sebagai “Daeng Usman”, penjaga alam dari Pulau Masakambing, Sumenep. Sejak tahun 2012, ia menjadi mitra setia BBKSDA Jatim dalam upaya melestarikan burung ikonik ini, salah satu spesies terancam punah yang hanya tersisa di beberapa titik kecil Indonesia, salah satunya di pulau kecil ini.

“Burung itu bukan milik saya. Tapi mereka bagian dari hidup saya,” ucap Daeng Usman lirih namun mantap.

Dua burung yang kini telah lepas liar itu, seekor betina yang diselamatkan pada Oktober 2024, dan jantan pada November 2024. Mereka menjalani hari-hari krusial di halaman rumah Daeng Usman, yang sejak lama dijadikan lokasi kandang rehabilitasi. Di tangan dan hatinya, mereka belajar kembali mengenali alam, angin laut, suara hutan, dan keberanian untuk terbang tinggi.

Setiap hari, Daeng Usman membuka kandang perlahan, membiarkan mereka menjelajah, kembali, dan pergi lagi. Ia mengenali kebiasaan mereka tidur di pohon jambu, lalu perlahan beralih ke jati, kelapa, hingga akhirnya bergabung dengan kawanan liar di mangrove seberang kandang. Semua terekam jelas di benaknya, tanpa perlu catatan.

“Yang penting mereka bahagia di sana,” katanya, menunjuk rimbun hijau yang jadi rumah baru dua sahabat kecilnya.

Lebih dari satu dekade, Daeng Usman tak hanya jadi penjaga kandang. Ia adalah penghubung antara manusia dan alam, antara kebijakan konservasi dan kearifan lokal. Ia mengajar anak-anak di kampungnya untuk mengenal dan mencintai burung, memperingatkan warga agar tak mengganggu pohon-pohon sarang, serta menjadi mata dan telinga bagi petugas BBKSDA Jatim yang datang dari jauh.

Konservasi sejati, ternyata lahir bukan hanya dari teknologi atau ilmu pengetahuan, namun juga dari hati yang setia menjaga. Dari rumah-rumah kecil di pulau terpencil, dari manusia-manusia seperti Daeng Usman yang tak pernah lelah mencintai.

Kini, langit Masakambing kembali berwarna. Tidak hanya oleh jambul kuning yang menari di angin, tetapi oleh harapan yang tumbuh dari dedikasi satu orang, satu rumah, dan satu pulau yang menolak melupakan satwa-satwa yang hampir sirna.

Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda pada Balai Besar KSDA Jawa Timur