Di pagi hari yang berkabut tipis, bayang-bayang pegunungan tampak seperti lukisan kabur di cakrawala. Di sebuah sudut lereng yang sepi, seekor Merak Hijau (Pavo muticus) perlahan mengembangkan sayapnya, simbol kehidupan yang masih bertahan, sekaligus gambaran keanggunan yang sejak ratusan tahun lalu telah menjadi denyut nadi Reog Ponorogo. Hari itu, 7 Mei 2025, bukan hanya soal kunjungan, tetapi sebuah gerak awal yang menyatukan kembali dua pusaka warisan, alam dan budaya.
Di Kampung Merak, Desa Gentan – Ponorogo, Balai Besar KSDA Jawa Timur melalui Bidang KSDA Wilayah I Madiun dan Seksi KSDA Wilayah II Bojonegoro, bersama PT. Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Madiun, melanjutkan program yang telah lama digaungkan, “Membudayakan Konservasi dan Mengkonservasi Budaya”. Sebuah program yang lahir dari keprihatinan atas satu fakta menyedihkan, populasi Merak Hijau kian menipis, sementara kebutuhan akan bulu ekornya untuk pembuatan Dadak Merak, ikon utama Reog Ponorogo, tetap tinggi.
Sebuah penelitian tahun 2018 mengungkapkan bahwa untuk membuat satu barongan, dibutuhkan 900–1.200 helai bulu Merak Hijau, ini berarti setara dengan 6–10 ekor merak jantan dewasa. Sementara itu, satu kelompok pembuat barongan bisa menghasilkan hingga 20 unit per tahun. Maka, jika budaya Reog ingin terus hidup tanpa mengorbankan satwa, dibutuhkan minimal 20 penangkaran aktif yang memiliki setidaknya 10 ekor Merak Hijau jantan.
Kampung Merak hadir menjawab tantangan
Bersama KTH Gentan Hijau Berseri, masyarakat tak lagi sekedar menjadi penonton perubahan, melainkan aktor utama dalam konservasi yang berakar dari budaya mereka sendiri. Tahun lalu, mereka menerima dukungan berupa kandang breeding, inkubator, kandang anakan, serta sistem pemantauan CCTV. Kini, Pertamina Patra Niaga menyatakan komitmen lanjutan untuk memperkuat sistem penangkaran dengan pendampingan selama 3 hingga 5 tahun ke depan.
Bukan sekedar angka dan struktur fisik, yang dibangun di Kampung Merak adalah kesadaran kolektif. Bahwa budaya bukan alasan untuk mengeksploitasi alam, tetapi jembatan untuk merawatnya. Bahwa Reog tak perlu menggugurkan bulu kehidupan demi pertunjukan, karena pelestarian dapat berjalan seiring pelestarian.
Program ini juga membawa semangat baru sejak UNESCO mengakui Reog Ponorogo sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia. Sebuah pengakuan internasional yang memantik kembali nyala tanggung jawab bersama, antara pemerintah, masyarakat, akademisi, sektor swasta, dan media. Mereka semua kini memikul satu visi, menjaga bumi tempat Merak Hijau menari, menjaga warisan di mana budaya tumbuh dari tanah, suara, dan kearifan lokal.
“Reog tidak akan hidup tanpa merak, dan merak tidak akan lestari tanpa kita peduli,” ungkap Nur Patria Kurniawan Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur secara terpisah. Kalimat sederhana itu mencerminkan puncak filosofi konservasi modern, yang tidak hanya bersandar pada ilmu, tetapi juga pada nurani (open heart).
Ketika Merak Hijau menari di atas tanah yang sama dengan tempat Reog lahir, kita tak sedang menyaksikan dua dunia yang bertemu. Kita sedang menghidupkan kembali satu dunia yang utuh, tempat keseimbangan hubungan manusia, alam, dan budaya, menyatu dalam harmoni yang tak boleh retak. (dna)
Sumber: Bidang KSDA Wilayah 1 Madiun, Balai Besar KSDA Jawa Timur