Di balik hamparan hijau Pegunungan Wilis, kehidupan berdenyut di setiap helaian dedaunan dan gemericik aliran sungai. Cagar Alam Gunung Picis dan Gunung Sigogor bukan sekadar hamparan hutan yang sunyi, melainkan panggung kehidupan bagi makhluk-makhluk kecil yang memainkan peran besar dalam keseimbangan ekosistem. Di balik lebatnya vegetasi dan gemericik aliran sungai, kehidupan reptil dan amfibi berkembang dalam keseimbangan yang rapuh, sebuah indikator penting bagi kesehatan ekosistem.
Pagi itu, kabut tipis menyelimuti lereng Gunung Sigogor. Suara burung bersahutan, sementara dedaunan yang basah memantulkan cahaya matahari pagi. Di bawah naungan hutan, seiring bergulirnya sang fajar, ,tim melangkah keluar dari lebatnya alas ireng sebuah nama lain dari kawasan Cagar Alam Gunung Sigogor. Setiap jejak kaki yang ditinggalkan menjadi saksi pencarian tak kenal lelah mereka terhadap penghuni-penghuni tersembunyi pegunungan ini. Mereka bukan sekadar mencari; mereka mendengar, merasakan, dan membaca bahasa alam.
Dalam sebuah studi yang dipublikasikan pada 2024 di Biotropika: Journal of Tropical Biology berjudul _”Herpetofauna Diversity and Conservation Value in the Mountain Ecosystems of Gunung Sigogor and Gunung Picis Nature Reserve, East Java, Indonesia” _ karya Ahmad Muammar Kadafi, Awalul Fatiqin, Bagus Priambodo, Richo Firmansyah, Fajar Dwi Nur Aji, Tri Wahyu Widodo, Gunawan, Danafia Permana, Faisal Yanuar Adiba, dan Yuri Ristanto, tersingkap keajaiban yang kerap luput dari perhatian. Dalam penelitian tersebut, sebanyak 29 spesies herpetofauna berhasil diidentifikasi: 13 jenis amfibi dan 16 jenis reptil. Namun, di antara temuan itu, satu nama mencuat: Nyctixalus margaritifer, katak pohon yang terakhir kali tercatat keberadaannya lebih dari satu abad silam.
Penemuan Nyctixalus margaritifer di Cagar Alam Gunung Sigogor ini memperkuat temuan dari penelitian terdahulu yang dipublikasikan pada 2021 dalam Turkish Journal of Zoology berjudul “Rediscovery of Pearly Tree Frog, Nyctixalus margaritifer Boulenger, 1882 (Amphibia: Rhacophoridae) from Mt. Wilis after 135 years” oleh Bagus Priambodo, Richo Firmansyah, Dicky Candra Pranata, Afina Nur Aninnas, Muhamad Azmi Dwi Susanto, Fajar Dwi Nur Aji, Tri Wahyu Widodo, Gunawan Gunawan, Danafia Permana, Faisal Yanuar Adiba, Yuri Ristanto, Muhamad Prayogi Erfanda, And Ahmad Muammar Kadafi.
Penelitian tersebut mencatat spesimen betina N. margaritifer ditemukan di lereng barat Gunung Wilis pada ketinggian 1.082 mdpl, bertengger tenang di bawah daun pohon kopi yang tumbang. Suasana lembab dengan suhu 22°C dan kelembaban 92% menjadikan area itu sebagai habitat yang ideal. Temuan ini menjadi yang ketiga kalinya setelah hilangnya holotipe tahun 1882 dan penunjukan neotipe pada 1885. Menariknya, spesimen yang ditemukan berukuran 42,6 mm, lebih besar dibandingkan catatan terdahulu.
Sungai, Hutan, dan Kisah Kehidupan yang Berlangsung dalam Diam
Di tepian aliran sungai “Wates”, suara gemericik air berpadu dengan nyanyian serangga. Di sinilah kehidupan herpetofauna tampak paling semarak. Katak-katak pohon seperti Philautus aurifasciatus berjongkok di atas daun, sementara Rhacophorus reinwardtii melompat lincah di antara ranting. Sungai ini tak sekadar menjadi sumber air; ia adalah urat nadi kehidupan yang mengalirkan keseimbangan bagi seluruh ekosistem sekitarnya.
Tak jauh dari sana, di aliran sungai “Ngesep”, keheningan hanya sesekali pecah oleh percikan air saat seekor kadal melintas cepat. Berbeda dengan Wates yang kaya spesies, Ngesep menawarkan harmoni, tempat di mana spesies hidup berdampingan dalam kesetaraan. Analisis indeks keanekaragaman dari studi ini menunjukkan bahwa di sinilah ekosistem mencapai keseimbangan optimal.
Tidak semua cerita berakhir bahagia, Gonocephalus kuhlii jenis bunglon hutan yang anggun dengan warna kehijauan, kini masuk dalam kategori Vulnerable daftar merah IUCN. Ia bergantung pada kanopi hutan yang kini kian terfragmentasi oleh aktivitas manusia. Setiap pohon yang tumbang adalah hilangnya satu rumah, satu dunia, bagi spesies-spesies sepertinya.
Ancaman yang Tak Terlihat, Bahaya yang Nyata
Amfibi, dengan kulitnya yang permeabel, adalah penjaga ekosistem yang paling sensitif. Mereka merasakan lebih dahulu apa yang sering kali manusia abaikan. Ketika suhu meningkat atau air tercemar, populasi mereka merosot secara diam-diam. Nyctixalus margaritifer, meski ditemukan kembali, tak luput dari ancaman perburuan untuk perdagangan hewan peliharaan eksotis.
Ancaman lain datang dari tempat yang mungkin tak kita duga: ladang-ladang di pinggiran cagar alam yang menggunakan pestisida, meresap ke dalam tanah, mengalir ke sungai-sungai kecil, mengancam kehidupan di dalamnya. Perubahan iklim menambah daftar panjang tantangan. Naiknya suhu dan berkurangnya curah hujan mengubah ritme alami hutan, membuat banyak spesies kehilangan musim berkembang biak yang tepat.
Harapan yang Terbit di Tengah Kekhawatiran
Meski ancaman kian nyata, harapan belum padam. Penelitian ini tidak hanya mengungkap data; penelitian mengetuk kesadaran bahwa konservasi bukan lagi sebuah pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Langkah-langkah perlindungan yang melibatkan semua pihak, dari patroli untuk mencegah perburuan liar, pemulihan habitat dan ekosistem, hingga pendidikan lingkungan bagi masyarakat sekitar.
Di beberapa desa sekitar cagar alam, kesadaran telah tumbuh. Anak-anak belajar mengenali suara katak dan pentingnya sungai yang bersih. Warga dilibatkan dalam pemantauan satwa, merasa menjadi bagian dari ekosistem yang mereka tinggali.
Kegiatan pendataan keanekaragaman hayati yang melibatkan masyarakat di kawasan konservasi bertajuk Summer camp telah dua kali dilaksanakan di kawasan ini, sebagai bentuk kontribusi dan pelibatan masyarakat dalam menemukenali potensi dan fungsi kawasan bagi kehidupan. Pada akhirnya mereka sadar bahwa mereka bukan hanya sekedar menjaga hutan,namun mereka juga menjaga masa depan anak cucu.
Jaga Alam, Jaga Diri Kita Sendiri
Gunung Picis dan Gunung Sigogor lebih dari sekadar kawasan konservasi. Mereka adalah tempat yang memberikan pelajaran hidup bahwa segala sesuatu di alam saling terhubung. Hilangnya satu spesies dapat memicu keruntuhan rantai kehidupan yang tak terbayangkan dampaknya bagi manusia.
Setiap langkah yang diambil untuk melindungi herpetofauna di Pegunungan Wilis bukan hanya tentang menyelamatkan katak atau kadal. Ini adalah tentang menjaga keseimbangan, tentang merawat warisan bumi agar tetap lestari. Karena pada akhirnya, menjaga alam adalah menjaga diri kita sendiri. (dna)
Sumber : Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Muda pada Balai Besar KSDA Jawa Timur
* Artikel ini disusun berdasarkan pengalaman penelitian dan hasil yang telah dipublikasikan dalam Turkish Journal of Zoology (2021) Biotropika: Journal of Tropical Biology (2024) oleh Ahmad Muammar Kadafi, Bagus Priambodo dan tim penulis