Yogyakarta, 25 Agustus 2025. Interaksi negatif antara manusia dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) kembali menjadi sorotan. Forum Group Discussion (FGD) Penanganan Monyet Ekor Panjang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mempertemukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, dan lembaga peduli konservasi. Pertemuan yang diinisiasi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) ini menghasilkan kesepakatan awal, perlu dibentuk Tim Terpadu dan peta jalan penanganan konflik yang nantinya akan ditetapkan melalui Keputusan Gubernur.
“Keutuhan habitat menjadi kunci. Saat hutan rusak atau ditanami monokultur yang tidak disukai monyet, mereka keluar mencari makan. Dan seringkali, manusia yang mereka temui,” tegas Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc. – Dirjen KSDAE dalam pembukaan.
Potret Konflik yang Mengemuka
Data hasil kajian Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY menunjukkan bahwa sedikitnya 1.980 individu monyet ekor panjang tersebar di tiga kabupaten: Bantul (471 ekor), Kulon Progo (557 ekor), dan Gunungkidul (792–952 ekor tergantung musim). Gunungkidul menjadi episentrum konflik dengan luasan habitat potensial lebih dari 21.600 Ha, diikuti Bantul sekitar 5.500 Ha dan Kulon Progo 2.599 Ha.
Pemetaan kantong konflik memperlihatkan intensitas yang tinggi di desa-desa seperti Song Banyu, Tepus, Kemadang, Nglanggeran, hingga Wukirsari dan Mangunan. Serangan monyet tidak hanya merusak ladang jagung, pisang, dan ketela, tetapi juga menyusup hingga pekarangan rumah warga. Waktu-waktu rawan serangan pun terpetakan: pagi hari (04.30–06.00), siang (10.30–14.00), dan sore menjelang malam (17.00–18.30), terutama di musim tanam dan panen.
Jawa Timur Turut Berbagi
Balai Besar KSDA Jawa Timur (BBKSDA Jatim) turut hadir untuk berbagi pengalaman. Dalam kurun 2018–2025, BBKSDA Jatim telah melepasliarkan 480 ekor monyet ekor panjang hasil sitaan dan serahan ke Suaka Margasatwa Nusa Barung. Namun, pengalaman lapangan di Mojokerto menunjukkan betapa peliknya persoalan ini. Di Desa Cembor, Kecamatan Pacet, panen jagung warga merosot drastis dari rata-rata satu ton menjadi hanya 400 kilogram.
Upaya mitigasi lokal seperti pagar kawat, orang-orangan sawah, hingga penggunaan petasan terbukti tidak efektif. Solusi hanya mungkin dicapai dengan pendekatan komprehensif, rehabilitasi habitat, patroli bersama, penyusunan Perdes mitigasi satwa liar, dan pemberdayaan masyarakat.
Tekanan Pembangunan dan Perubahan Habitat
Kasus DIY memiliki kompleksitas tersendiri. Analisis Balai KSDA Yogyakarta menunjukkan bahwa pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) telah membelah habitat alami di kawasan karst. Vegetasi terpotong, konektivitas ekologis menurun, dan fragmentasi habitat kian nyata. Akibatnya, monyet memperluas jelajahnya hingga ke lahan pertanian dan pemukiman.
Data perjumpaan dari 2012 hingga 2024 menunjukkan lonjakan signifikan, dari sebaran terbatas di Purwosari dan Girisubo, kini meluas hingga Paliyan, Ponjong, Semin, dan Ngawen dengan total lebih dari 1.372 individu.
Status Konservasi, Antara Ancaman dan Adaptasi
Secara global, monyet ekor panjang kini berstatus Endangered dalam Daftar Merah IUCN sejak 2022. Prof. Amir Hamidy menekankan bahwa perubahan status ini harus jadi alarm serius: “Dulu dianggap Least Concern, lalu naik ke Vulnerable, dan kini Endangered. Ancaman utama bukan hanya deforestasi, tetapi juga konflik dengan manusia, perdagangan ilegal, dan risiko zoonosis.”
Ironisnya, populasi di wilayah urban justru meningkat. Kemampuan adaptasi ekstrem membuat monyet bertahan hidup di pasar, obyek wisata, bahkan kampus. Mereka menjadi satwa di ambang kepunahan global, tetapi sering dianggap hama di level lokal.
Menyusun Jalan Tengah
Pertemuan di Yogyakarta merumuskan sejumlah strategi. Perbaikan habitat melalui penanaman pohon pakan alami seperti kersen, duwet, belimbing wuluh, hingga beringin. Manajemen populasi berbasis sains, sterilisasi terkendali, relokasi, dan monitoring dengan teknologi. Penguatan kelembagaan, pembentukan Satgas Penanganan MEP di tingkat desa dan koordinasi lintas sektor serta Koeksistensi manusia–satwa dalam bentuk sosialisasi hukum, pendidikan konservasi, dan pengembangan ekowisata berbasis interaksi aman.
Prinsip Mamayu Hayuning Bawono yang secara lebih luas mengajak setiap individu untuk hidup harmonis dengan alam dan sesama manusia, serta menjaga keseimbangan ekosistem demi mencapai keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup, dijadikan landasan filosofis. Hidup berdampingan dengan monyet bukan sekadar kompromi, melainkan kebutuhan demi menjaga kelestarian ekosistem sekaligus keberlanjutan hidup manusia.
Jalan Panjang yang Baru Dimulai
FGD di Yogyakarta menandai babak baru dalam penanganan konflik monyet ekor panjang di Tanah Jawa. Dari data lapangan, kajian ilmiah, hingga pengalaman nyata di Jawa Timur, semuanya menunjukkan satu kebenaran, tidak ada solusi tunggal.
Hidup berdamai dengan monyet adalah perjalanan panjang. Sebuah jalan yang memerlukan keberanian untuk menata ulang pembangunan, kebijaksanaan dalam menjaga hutan, dan kesabaran dalam membangun harmoni antara manusia dan satwa liar dan di Yogyakarta, langkah pertama baru saja diambil.
Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda pada Balai Besar KSDA Jawa Timur