Di antara deru angin Samudra Hindia dan rapatnya hutan tropis yang menutup tubuh Pulau Nusa Barung, sebuah fakta penting terungkap bahwa pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa (SM) Pulau Nusa Barung tahun 2025 dinilai belum efektif, dengan skor 57 dari 102 atau 54,90% berdasarkan Penilaian Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi (METT) Versi 4.4. Temuan ini menciptakan gelombang keprihatinan sekaligus menjadi titik tolak perbaikan pengelolaan kawasan konservasi paling mistis dan strategis di pesisir selatan Jawa Timur ini.
Penilaian yang dilaksanakan pada 21 November 2025 di Herda Cafe Puger ini menghadirkan para pemangku kepentingan lintas sektor: Bidang KSDA Wilayah III Jember, Pemerintah Kabupaten, TNI AL, Polri, Satgas Pamputer, Satpolairud, hingga kelompok masyarakat pengawas. Dalam forum itu, para peserta memaparkan dan menguji ulang kondisi nyata Nusa Barung berdasarkan 62 butir ancaman dan 38 pertanyaan penilaian, sebuah proses yang menuntut ketelitian dan pemahaman mendalam terhadap dinamika ekologis pulau.
Tahun ini, METT digunakan dalam versi terbarunya, Versi 4.4, yang tidak hanya menilai tata kelola klasik, tapi juga menelisik isu-isu global seperti Perubahan iklim, Tangkapan karbon, Konektivitas ekosistem, Jasa lingkungan, Status spesies indikator, dan Status habitat yang lebih rinci.
Untuk pertama kalinya, aspek keselamatan petugas lapangan dinilai secara khusus, menandai kesadaran baru bahwa kerja konservasi tidak hanya menjaga alam, tetapi juga memastikan keselamatan para penjaganya.
Meskipun dikenal sebagai benteng alami dengan garis pantai karang, topografi terjal, dan hutan yang nyaris tak tersentuh, Pulau Nusa Barung bukan tanpa ancaman. Penilaian METT mengungkap beberapa tantangan besar yang memengaruhi efektivitas pengelolaan, terutama minimnya sumberdaya manusia dimana jumlah personel yang terbatas tidak sebanding dengan luas dan kerentanan kawasan.
Tterutama pada area yang rawan masuknya aktivitas ilegal serta kurangnya alokasi dana operasional serta peralatan pendukung membuat pengawasan, patroli, inventarisasi data, dan penguatan habitat tidak maksimal. Disamping itu keterbatasan basis data menyebabkan pemahaman terhadap dinamika populasi satwa kunci dan perubahan habitat belum dapat diukur secara akurat. Dari gabungan faktor tersebut menjadi akar dari nilai METT yang masih berada pada kategori kurang efektif.
Di balik tantangan tersebut, Pulau Nusa Barung tetap menjadi aset ekologis yang tidak tergantikan. Hutan pantai, mangrove, hingga hutan hujan dataran rendahnya menyimpan potensi penyimpan karbon alami, mencegah erosi ekstrem, dan menjadi benteng ekologis bagi wilayah pesisir Puger dan Gumukmas.
Kehadiran pulau ini menjadi benteng alami yang memecah gelombang besar, memberikan manfaat ekosistem terhadap masyarakat yang tinggal di pesisir selatan Jember.
Acara penilaian dibuka oleh Kepala Bidang KSDA Wilayah III Jember dan dilanjutkan dengan pembahasan intensif. Para peserta, mulai dari desa, aparat keamanan, hingga kelompok masyarakat pengawas, menyumbangkan pengetahuan lokal dan pengalaman di lapangan. Dengan ditandatanganinya kesepakatan, menjadi sebuah komitmen untuk kelestarian Suaka Margasatwa Nusa Barung.
Pulau Nusa Barung adalah laboratorium alam, benteng terakhir kehidupan liar, sekaligus garis pertahanan ekologis bagi ribuan warga pesisir. Dengan baseline METT 2025 yang kini dimiliki, Balai Besar KSDA Jawa Timur bersama jajaran Seksi KSDA Wilayah V dan seluruh pemangku kepentingan dapat memetakan strategi penguatan yang lebih terukur.
Perbaikan input pengelolaan, penguatan data biodiversitas, dan sinergi lintas sektoral menjadi jalan menuju pengelolaan yang lebih efektif. Karena di Nusa Barung, setiap hembusan angin, setiap jejak satwa, dan setiap helaian dedaunan adalah pengingat bahwa alam selalu berbicara, kita hanya perlu mendengarkannya, dan menjaganya. (dna)
Sumber: Bidang KSDA Wilayah 3 Jember – Balai Besar KSDA Jawa Timur