Dua Gunung, Dua Ritual, Satu Sumber Kehidupan, Sigogor dan Picis Menjadi Penentu Masa Depan Air Bersih Ponorogo

Share

Di balik keteduhan pepohonan yang menyelimuti Cagar Alam Gunung Sigogor dan Cagar Alam Gunung Picis, tersimpan nadi kehidupan yang mengaliri desa-desa di lereng Ponorogo. Dua kawasan konservasi ini bukan sekadar bentang alam yang dilindungi, keduanya adalah penyangga air bersih, penjaga tradisi, dan ruang hidup bagi berbagai spesies hutan yang bertahan di tengah tekanan lahan.

Pada 20–21 November 2025, Balai Besar KSDA Jawa Timur melaksanakan Penilaian Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi (METT 4) untuk kedua cagar alam tersebut. Penilaian berlangsung selama dua hari di RM Bu Lis 2, Kecamatan Ngebel, dengan melibatkan lintas unsur mulai dan Bappeda Ponorogo, Forkopimca, Perhutani BKPH Wilis Barat, perwakilan desa penyangga, Kelompok Tani Hutan, pecinta alam, Masyarakat Mitra Polhut, kelompok MPA “Sapu Geni”, hingga komunitas lingkungan Jaga Satwa Indonesia.

Kegiatan dibuka dengan sambutan Sekcam Ngebel, Bambang Udiono, disusul Kepala Seksi KSDA Wilayah II Bojonegoro. Namun yang membuat penilaian ini berbeda bukan hanya hadirnya banyak pihak, melainkan tingginya antusiasme masyarakat lokal yang sejak lama menghormati dua kawasan ini melalui ritual adat tahunan.

Bagi masyarakat Pupus, Gondowido, Talun, hingga kelompok pecinta alam setempat, hutan di Sigogor dan Picis bukan sekadar wilayah konservasi, melainkan ruang spiritual. Mereka menjaga kawasan dengan penuh hormat, menjalankan tradisi sebagai bentuk syukur dan pengakuan bahwa hutan adalah sumber kehidupan yang tidak boleh dirusak.

Dalam konteks ini, secara terpisah Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur, Nur Patria Kurniawan, S.Hut., M.Sc., menegaskan bahwa pelibatan masyarakat adalah kekuatan esensial dalam konservasi.

“Sigogor dan Picis telah lama dijaga oleh kearifan lokal. Tugas kita bukan mengganti tradisi itu, melainkan memperkuatnya agar kelestarian hutan berjalan searah dengan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Pernyataan tersebut menjadi landasan kuat bahwa konservasi hanya akan berhasil bila pemerintah bergerak beriringan dengan komunitas penjaga hutan di lapangan.

Menggunakan instrumen METT 4, tim memotret kekuatan dan tantangan dalam pengelolaan kawasan. Hasil Penilaian METT di CA Gunung Sigogor: 72,22% ( Planning 85,71%, Input 61,11%, Process 66,67%, Outputs 66,67%, Outcomes 91,67%) dan di CA Gunung Picis: 71,30% ( Planning 80,95%, Input 61,11%, Process 66,67%, Outputs 66,67%, Outcomes 91,67%)

Kedua cagar alam menunjukkan perencanaan yang kuat dan hasil konservasi yang tinggi, ditandai oleh skor Outcomes di atas 90%. Artinya, meski tantangan terkait input dan proses masih ada, seperti ketersediaan sarana pengamanan dan kebutuhan peningkatan aktivitas monitoring, fungsi ekologis kawasan tetap terjaga.

Gunung Sigogor dan Gunung Picis merupakan daerah tangkapan air penting bagi wilayah Ponorogo. Lereng-lereng hutan ini menjadi reservoir alami yang menjaga kontinuitas air bersih bagi ribuan warga.

Dalam diskusi, peserta berkali-kali menekankan bahwa hilangnya hutan berarti hilangnya air, dan hilangnya air berarti ancaman bagi kehidupan sosial, ekonomi, hingga budaya lokal. Ketika cagar alam dijaga, sebenarnya kita sedang menjaga sumber air, ketahanan pangan, dan identitas budaya masyarakat Ponorogo. Inilah konservasi yang sesungguhnya, menjaga seluruh sistem kehidupan secara utuh.

METT bukan sekadar penilaian teknis; ini adalah ruang dialog dan titik temu berbagai kepentingan yang menyatu demi satu tujuan: melindungi kawasan konservasi Jawa Timur.

Dari kegiatan ini, semakin jelas bahwa, kolaborasi masyarakat–pemerintah merupakan fondasi utama pengelolaan kawasan, pengetahuan lokal dan budaya adalah modal penting menjaga hutan dan cagar alam yang kecil sekalipun dapat berdampak besar bagi ekologi dan kesejahteraan manusia.

Ke depan, penguatan input pengelolaan, peningkatan sarana monitoring, dan pelibatan komunitas secara berkelanjutan akan menjadi kunci mempertahankan fungsi ekologis Sigogor dan Picis.

Dengan kekuatan kolaborasi yang terbangun, dukungan masyarakat, dan komitmen kuat dari Balai Besar KSDA Jawa Timur, masa depan Sigogor dan Picis tidak hanya dapat dijaga, tetapi dapat diwujudkan sebagai model konservasi berbasis budaya dan ekologi yang menginspirasi Jawa Timur. (dna)

Sumber: Bidang KSDA Wilayah 1 Madiun – Balai Besar KSDA Jawa Timur