Matahari baru saja menembus tipis kabut pagi, menyalakan kilau zamrud di permukaan Danau Kastoba. Suara burung bersahutan, diselingi desir angin yang menggerakkan pucuk-pucuk pohon.
Di jalur setapak yang menanjak, langkah-langkah berat terdengar. Sepasang sepatu lapangan yang kotor oleh lumpur tetap melangkah, meski napas pemiliknya mulai memburu.
Ia adalah Shalmiah Aegesti, mahasiswa Program Studi Sarjana Terapan Pengelolaan Hutan, Departemen Teknologi Hayati dan Veteriner, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Bersama tim Balai Besar KSDA Jawa Timur, Shalmiah ikut serta dalam kegiatan bioprospeksi di Suaka Margasatwa Pulau Bawean, 23 hingga 27 September 2025.
Bagi banyak orang, bioprospeksi mungkin terdengar seperti istilah teknis yang jauh dari keseharian. Namun bagi Shalmiah, pengalaman itu adalah perjumpaan langsung dengan denyut nadi kehidupan hutan.
“Saya merasa setiap langkah membawa ilmu baru. Lelah itu ada, tapi justru terasa seperti bonus manis dari belajar langsung di alam,” katanya dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, meski keringat masih menetes di pelipisnya.
Di tengah perjalanan, tim berhenti di tepian Danau Kastoba. Di sanalah mereka menemukan Prunus arborea, tegak kokoh di tepi air yang jernih. Jenis ini dikenal sebagai penyimpan air alami, sekaligus penopang ekosistem di sekitarnya.
Perjalanan berlanjut ke Blok Panggambean dan Gigir Gunung di hari berikutnya. Jalur menanjak membuat kaki terasa semakin berat, tetapi temuan berikutnya menghapus lelah, Prunus javanica, atau kayu paek. Pohon ini, yang tumbuh alami di lereng-lereng curam, menyimpan potensi besar dalam penelitian medis, sekaligus menjaga ketersediaan air di habitatnya.
Bagi masyarakat Bawean, pohon-pohon ini lebih dari sekadar hutan. Mereka adalah penyangga kehidupan, air yang mengalir lirih dari akar-akar mereka memberi kehidupan bagi sawah, ladang, dan rumah tangga di pulau kecil ini.
Menjadi Bagian Jejak Baru dalam Sejarah Tumbuhan
Namun ekspedisi ini tak berhenti di sana. Dari catatan lapangan, tim menemukan indikasi adanya temuan luar biasa yang belum pernah tercatat sebelumnya. Seolah Pulau Bawean berbisik, bahwa ia masih menyimpan misteri, menunggu untuk ditulis dalam lembaran ilmu pengetahuan.
Bagi Shalmiah, momen ini lebih dari sekadar catatan akademik. “Saya belajar bahwa konservasi bukan hanya menjaga hutan tetap hijau. Ini tentang menjaga ilmu, menjaga air, menjaga pangan, menjaga budaya, dan menjaga masa depan generasi,” tuturnya.
Belajar dengan Seluruh Indra
Setiap hari, Shalmiah dan tim berjalan kaki menyusuri jalur hutan yang menantang. Bau tanah basah, aroma getah pohon, kicau burung endemik, hingga suara serangga malam, menjadi bagian dari buku pelajaran yang tak tertulis.
Rasa lelah memang selalu ada. Lutut terkadang bergetar saat menuruni lereng licin, dan pundak terasa berat menanggung peralatan penelitian. Namun justru di titik-titik itulah Shalmiah menemukan esensi konservasi, bahwa menjaga alam bukanlah pekerjaan mudah, melainkan pengorbanan yang memberi kepuasan batin.
“Kadang capek terasa seperti ‘bonus manis’ dari belajar langsung di lapangan. Setiap langkah terasa berarti, seolah saya ikut menjaga warisan alam ini,” ucapnya.
Konservasi: Menjaga Hidup, Bukan Sekadar Hutan
Bagi Balai Besar KSDA Jawa Timur, kegiatan ini menegaskan bahwa konservasi tak berhenti pada menjaga pohon dan satwa. Lebih jauh, konservasi berarti menjaga keseimbangan air, menjaga pangan masyarakat, merawat budaya lokal, dan memastikan keberlanjutan hidup generasi mendatang.
Bagi Shalmiah, pengalaman magang ini akan menjadi penanda perjalanan hidupnya. Ia tak hanya pulang dengan catatan lapangan dan sampel tanaman, melainkan juga dengan pandangan baru, bahwa hutan bukan sekadar ruang hijau, tetapi ruang hidup yang menghidupi.
Harapan dari Jejak Kaki di Bawean
Saat senja jatuh di Pulau Bawean, Shalmiah duduk di tepi hutan, menatap matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan. Lelahnya belum hilang, tapi wajahnya dipenuhi rasa syukur. Ia tahu, pengalaman ini akan terus terpatri dalam ingatannya.
Kegiatan bioprospeksi ini bukan hanya mencatat nama-nama latin tumbuhan, melainkan juga mencatat harapan. Harapan bahwa di tengah tantangan zaman, masih ada generasi muda yang mau menapaki jalur konservasi dengan sepenuh hati.
Pulau Bawean mengajarkan, setiap langkah kecil yang diambil di hutan, bisa jadi langkah besar bagi masa depan bumi.
Di balik lelah seorang mahasiswa magang, tersimpan cerita besar tentang manusia dan alam yang saling menopang. Shalmiah Aegesti bukan hanya belajar dari hutan Bawean, ia juga meninggalkan jejak, bahwa konservasi adalah jalan hidup, bukan sekadar pekerjaan.
Sumber : Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda pada Balai Besar KSDA Jawa Timur