Lebih dari Sekadar Bunga Keraton! Mengapa Wijayakusuma Menentukan Nasib Pulau Kecil?

Share

Langit Bawean berwarna kelabu, dan rintik hujan pelan berubah menjadi deras ketika tim SMART Patrol melangkah ke jantung Cagar Alam Pulau Nusa, Desa Teluk Jati Dawang, Kecamatan Tambak, Kabupaten Gresik (22/10/2025). Pulau mungil seluas 3,216 Ha itu tampak sunyi; sebuah pulau batuan, tanpa tanah, tanpa aliran sungai, hanya dikelilingi karang hitam dan ombak yang terus menggerus.

Di bawah guyuran hujan, langkah tim Smart Patrol Resort Konservasi Wilayah 10 Bawean, Seksi KSDA Wilayah III Surabaya, MMP Bawean Lestari, serta mahasiswa magang dari dari Program Studi Sarjana Terapan Pengelolaan Hutan, Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, terpukau dengan temuan yang menakjubkan.

Substrat batuan membentuk pondasi kehidupan di Cagar Alam Pulau Nusa. Dalam kondisi seekstrem seperti itu, hanya spesies tertentu yang mampu bertahan, dan Wijaya Kusuma (Pisonia grandis) adalah salah satunya.

Tumbuhan ini membentuk struktur tajuk yang lebar melalui percabangan yang banyak dari pangkal, menjadi tempat berteduh yang ideal bagi burung-burung laut sekaligus sumber humus alami ketika daunnya gugur dan terurai. Akarnya memecah celah batuan, menambatkan kehidupan di bebatuan yang seolah tak memberi harapan.

Pisonia grandis adalah spesies pantai tropika yang umum dijumpai di pulau-pulau karang. Keunikan utamanya terletak pada biji yang lengket, yang menempel pada bulu atau kaki burung laut, sehingga memudahkannya tersebar antar pulau.

Fenomena ini menjadikan Pisonia sebagai penyambung ekosistem pulau-pulau kecil, penanda konektivitas ekologis di atas lautan luas. Vegetasi Pisonia sering ditemukan berdekatan dengan koloni burung laut.

Burung membawa bijinya, sementara kotoran burung memperkaya nutrisi pulau yang miskin unsur hara. Hubungan ini membentuk siklus alami yang saling menguntungkan, tanpa burung, Pisonia tak bisa memencar, tanpa Pisonia, burung kehilangan tempat bersarang.

Di Pulau Nusa, pohon-pohon wijayakusuma berdiri sebagai penanda harmoni itu. Mereka bukan sekadar tumbuhan perintis, mereka adalah penjaga pulau, yang menstabilkan substrat, menahan abrasi, dan menyediakan pakan sekaligus habitat bagi kehidupan lain.

Dari Bunga Keraton ke Laboratorium Alam
Nama “Wijayakusuma” memberi dimensi budaya tersendiri. Dalam tradisi Jawa, bunga ini diyakini sebagai lambang kebijaksanaan, kejayaan, dan kehidupan abadi, bunga yang konon hanya mekar di malam hari, membawa aura sakral bagi siapa pun yang menyaksikannya. Namun di Pulau Nusa, mitos itu menemukan bentuk ilmiahnya, keabadian yang dimaksud bukan pada bunganya, melainkan pada perannya menjaga keseimbangan ekosistem.

Beberapa informasi sebelumnya menyoroti keberadaan Wijayakusuma hanya ada di dua pulau karang kawasan Nusakambangan itu, yakni Pulau Majeti dan Pulau Wijayakusuma, Jawa Tengah. Hal tersebut menegaskan betapa simbol ini melekat di benak masyarakat Indonesia. Namun, temuan di Pulau Nusa, Bawean, Gresik membawa makna baru, bukan sekadar bunga keraton yang indah, melainkan penjaga kehidupan di pulau batu yang rapuh.

Hujan kembali mengguyur saat tim mencatat hasil pengamatan terakhir hari itu. Air menetes melalui daun wijayakusuma, mengalir ke menuju akar yang menembus batuan. Semua tampak sederhana, hanya pohon dan hujan, tetapi di baliknya tersimpan kisah tentang daya tahan, ketergantungan, dan keselarasan yang membentuk wajah pulau kecil Indonesia.

Catatan 27 individu Wijayakusuma di Pulau Nusa menjadi data penting bagi konservasi jangka panjang. Ia menandai, meski kecil dan terpencil, pulau karang ini hidup dan produktif.

Pulau Nusa adalah contoh mikro-ekosistem di mana setiap unsur, burung, batuan, hujan, dan pohon, saling terhubung. Menjaga satu artinya menjaga semuanya. Bagi tim SMART Patrol, hari itu bukan sekadar pendataan. Itu adalah pengingat bahwa konservasi bukan tentang skala luas, melainkan ketulusan menjaga yang kecil agar tetap berarti.

Di bawah hujan deras, tegakan Wijayakusuma berdiri tenang. Mereka tidak membutuhkan tanah subur untuk hidup, cukup kesetiaan burung, air hujan, dan waktu. Di Pulau Nusa, konservasi menemukan maknanya yang paling murni, menjaga keseimbangan antara karang, laut, dan kehidupan yang tumbuh diam-diam di tengah badai. (dna)

Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda Pada Balai Besar KSDA Jawa Timur