Selama mengikuti Road to HKAN 2019 di Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang, 5 – 9 Juli 2019 yang lalu, salah satu rute favoritku saat menyusuri hutan lumut Gunung Argopuro. Kenapa? Karena selama perjalanan begitu sejuk, teduh, tidak banyak tanjakan, dan tentu saja karena sebentar lagi tiba di Danau Taman Hidup. Tempat ini menjadi pos berikut yang kami tuju untuk beristirahat dan makan siang.
Semula tim kami berangkat berlima dari Alun-alun Lonceng, saya ditemani Pak Toto, Mas Gatut, Pak Wawan, dan porter kami Mas Samsul. Rombongan ini masih utuh hingga di Cemara Lima. Di hari ke-3 ini, stamina Pak Toto bukannya menurun malah semakin bertambah, dan ia-pun berjalan lebih cepat meninggalkan kami. Saya yakin, bisa jadi ini efek gula merah yang dibawakan oleh Bu Sukarni.
Di tengah jalan, Mas Gatut kesakitan karena kakinya lecet dan mulai bengkak. Agar dapat melanjutkan perjalanan, akhirnya Pak Wawan menawarkan sandal gunungnya untuk dipakai Mas Gatut. Rupanya sandal gunung tersebut cukup membantu Mas Gatut untuk meneruskan perjalanan. Ditemani Mas Samsul, Mas Gatut pun berjalan menyusul Pak Toto. Dan saya tercecer di belakang bersama Pak Wawan yang juga petugas RKW 23 Argopuro.
Saya benar-benar menikmati perjalan menyusuri hutan lumut Argopuro yang indah, sejuk dan terasa damai ini. Pak Wawan banyak bercerita tentang keanekaragaman hayati di hutan lumut ini yang masih masuk dalam Ekosistem Hutan Hujan Tropis. Jenis pohon yang ada antara lain Pasang, Jamuju dan Sapen. Pohon yang memiliki tinggi di atas 30 meter dengan tajuk yang rapat, yang membuat kelembaban cukup tinggi sehingga bagus untuk petumbuhan lumut. Mungkin karena itulah maka di hutan ini disebut hutan lumut.
Ingat pohon Pasang, saja jadi teringat Cagar Alam Gunung Sigogor di Ponorogo. Di sana juga banyak terdapat pohon Pasang dan hutan lumut. Pun demikian dengan tipe ekosistemnya yang Hutan Hujan Tropis. Kalau begitu mungkin tumbuhan semak dan perdu di hutan lumut ini juga tak jauh berbeda dengan di CA. Gunung Sigogor.
Di Sigogor pernah dilakukan survei potensi tanaman obat yang dibantu oleh tenaga ahli dari Balai Besar Tanaman Obat dan Obat Tradisional (BP2TO2T) Tawangmangu. Hasil dari kegiatan tersebut lebih dari seratus tanaman obat dapat diidentifikasi. Selanjutnya untuk lebih mengoptmalkan potensi tanaman obat di kawasan konservasi, saat ini BBKSDA Jatim sedang merencanakan untuk kerja sama dengan BP2TO2T Tawangmangu. Harapannya potensi tanaman obat yang ada di kawasan konservasi dapat dibudidayakan di luar kawasan konservasi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di daerah penyangga kawasan konservasi.
Menurut Pak Wawan di hutan lumut Argopuro juga ada beberapa jenis tanaman obat, seperti Kayu Angin.
“Ada juga jenis tumbuhan yang sering digunakan masyarakat untuk menutup luka, tapi saya tidak tahu namanya”, jawab jujur Pak Wawan sambil terkekeh.
Karena tertarik dengan obrolan tanaman obat ini, akhirnya saya meminta Pak Wawan untuk berjalan lebih santai sambil mengamati tanaman di sekitar jalur pendakian dan sesekali mengambil foto dengan ponselku. Aku pikir dengan mengambil foto-foto tumbuhan di hutan lumut ini, nanti saat di kantor saya dapat mengidentifikasi dengan bantuan buku-buku tentang tanaman obat dari BP2TO2T dan buku Tumbuhan Obat di CA. Gunung Sigogor.
Benar saja dari foto-foto tersebut saya dapat mengidentifikasi beberapa jenis tanaman obat, seperti Alang-alang (Imperata cyllindrica) untuk obat penurun panas, dan menghentikan pendarahan. Lalu Begonia (Begonia parviflora) yang dapat mengatasi gejala mual, muntah, dan diare. Selain dua tanaman obat diatas, juga didapati Pakis (Cyhea australis), Pohpohan (Pilea melastomodes), Kayu Angin (Usnea barbata), Puspa (Schima waliiichi L), Anggrek primitif (Apostasia odorata Blume), Sirih hutan (Piper caducibracteum C.DC), dan Lumut (Trachymitrium ciliatum).
Hasil pengamatan sambil lalu selama 3 jam perjalanan di hutan lumut dijumpai lebih dari 10 jenis tanaman obat ada. Jika dilakukan identifikasi lebih seksama kemungkinan besar lebih banyak lagi yang didapat. Saya yakin potensi tanaman obat di SM. Dataran Tinggi Yang cukup besar, mengingat selain memiliki ekosistem Hutan Hujan Tropis, di SM Dataran Tinggi Yang juga memiliki ekosistem hutan cemara, ekosistem savana, dan ekosistem rawa/danau. Keempat ekosistem tersebut tentu saja memiliki karakteristik flora dan fauna yang berbeda, termasuk jenis tanaman obatnya.
Untuk mengetahui potensi tanaman obat di kawasan ini lebih lanjut, kerja sama dengan BP2TO2T bisa diperluas ruang lingkupnya dengan kawasan konservasi lainnya di Balai Besar KSDA Jatim. Dengan data potensi kawasan yang lebih baik, dapat digunakan sebagai pertimbangan kebijakan pengelolaan kedepan. Semoga suatu saat potensi tanaman obat di SM. Dataran Tinggi Yang dapat dimanfaatkan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar kawasan.
Penulis : Th. Patty Novianti, Kasubag Perencanaan Program dan Kerjasama
Foto : Toto Sutiyoso
Penyunting : Agus Irwanto