2025, Tahun Saat Alam Berbicara, dan Kita Belajar Mendengarkan
Share
Sidoarjo, 31 Desember 2025. Di berbagai penjuru Jawa Timur, alam memberi tanda-tanda yang tak selalu kita pahami. Di pesisir, tukik-tukik kecil bergegas menuju gelombang pertama dalam hidupnya. Di tepian kota, seekor kucing kuwuk muncul di kebun warga, pertanda ruang hidupnya kian terdesak. Di hutan-hutan pegunungan, kamera pengintai menangkap langkah satwa yang selama ini lebih banyak hidup dalam bayang-bayang.
Sepanjang 2025, Balai Besar KSDA Jawa Timur bergerak di titik temu antara kebutuhan manusia dan hak alam untuk tetap hidup. Penyelamatan trenggiling, pelepasliaran burung, evakuasi primata, patroli kawasan, edukasi zoonosis, hingga pembongkaran jalur perdagangan ilegal satwa liar. Semuanya menyuarakan pesan yang sama bahwa konservasi bukan lagi pilihan moral, melainkan kebutuhan dasar.
Yang menarik, banyak kisah dimulai dari kepedulian warga. Telepon tengah malam, pesan whatsapp, hingga informasi dari media sosial mengantar petugas menuju kasus-kasus satwa peliharaan ilegal, satwa tersesat, konflik, dan ancaman perburuan.
Di lapangan, tim bekerja hati-hati, menenangkan satwa, memeriksa kesehatan, menyiapkan karantina, lalu merencanakan pelepasliaran ke habitat yang aman. Di balik satu momen haru ketika pintu kandang terbuka, ada kerja panjang yang jarang terlihat, survei lokasi, analisis risiko, edukasi hukum, dan pemantauan pasca rilis.
Di saat yang sama, ancaman perdagangan satwa liar menuntut kewaspadaan yang lebih luas. Di pelabuhan, jalan lintas, hingga ruang digital, satwa liar bergerak sebagai komoditas.
Operasi gabungan menolong ratusan individu burung, reptil, dan mamalia, sebagian tiba dalam kondisi lemah dan trauma. Namun yang terpenting bukan hanya angka sitaan, melainkan pesan yang ditegakkan bahwa hukum harus berpihak pada kelestarian. Sementara masyarakat perlu diyakinkan bahwa membeli satwa liar atau sekadar kasihan sekalipun adalah awal dari lingkaran kerusakan yang lebih besar.
Konservasi tidak berhenti pada penyelamatan individu. Di kawasan karst, gua-gua menyimpan air sebagai cadangan kehidupan. Di pulau-pulau kecil, populasi burung menjadi penanda rapuhnya ekosistem. Di pegunungan, tegakan hutan menjaga mata air, iklim mikro, dan stabilitas tanah.
Melalui patroli rutin, penelitian biodiversitas, smart patrol, dan restorasi ekosistem, petugas membaca ulang peta ancaman sekaligus memulihkan apa yang hilang. Menjaga hutan pada dasarnya adalah menjaga jaringan kehidupan, tanah, air, tumbuhan, satwa, dan manusia yang bergantung pada semuanya.
Di sisi lain, konservasi berdiri di atas bahu masyarakat penyangga. Mereka menanam pohon, mengelola kebun tanpa merambah, melapor saat melihat perburuan, dan menolak perdagangan satwa di lingkungannya.
Di desa, pesantren, dan sekolah, edukasi tumbuh menjadi kesadaran baru bahwa kesejahteraan ekonomi dan kelestarian alam bisa berjalan berdampingan selama habitat tetap terjaga. Konservasi, dalam arti yang paling sederhana, menjadi bagian dari budaya.
Generasi muda turut mengambil peran. Mahasiswa, relawan, dan siswa sekolah belajar mengenali jejak, mendokumentasikan spesies, memahami hubungan antara kerusakan habitat, perubahan iklim, dan risiko penyakit. Teknologi sederhana, kamera trap, pemetaan digital, hingga aplikasi pencatatan lapangan, membantu tim membaca pola ancaman dan merancang intervensi berbasis data. Di sinilah sains dan empati bertemu.
Di tengah refleksi akhir tahun, Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur, Nur Patria Kurniawan, menegaskan arah yang perlu dijaga bahwa konservasi bukanlah kerja yang mencari tepuk tangan.
“Ini adalah amanah jangka panjang, di mana hasilnya sering baru kita lihat jauh di kemudian hari. Setiap tindakan, sekecil apa pun, merupakan investasi bagi keberlanjutan ekosistem dan keselamatan manusia. Tugas kita adalah memastikan generasi mendatang masih memiliki hutan yang sehat, satwa yang lestari, dan alam yang dapat terus memberi kehidupan.” ujarnya.
Pernyataan itu merangkum inti perjalanan 2025, kerja sunyi yang menuntut konsistensi. Namun konsistensi saja tidak cukup.
Memasuki 2026, ada agenda yang harus diperkuat. Pertama, memperdalam basis data dan monitoring, sehingga kebijakan diambil berbasis sains, bukan sekadar persepsi. Kedua, memperluas konservasi inklusif, yang menempatkan masyarakat sebagai mitra sejajar, bukan objek program. Ketiga, mempertegas penegakan hukum yang berkeadilan, disertai edukasi yang mendorong perubahan perilaku secara bertahap. Keempat, menyiapkan adaptasi iklim dan pemulihan habitat yang tepat jenis, tepat lokasi, dan berkelanjutan.
Catatan 2025, pada akhirnya, bukanlah deretan judul berita. Ia adalah cermin, yang merefleksikan keberanian petugas di lapangan, kepedulian warga yang semakin tumbuh, dan rapuhnya ekosistem yang kita andalkan. Jika kita mau mendengarkan, alam sebenarnya sedang memberi pesan bahwa ia masih mampu pulih, asal diberi kesempatan.
Tahun baru membawa harapan baru. Dengan kolaborasi yang lebih luas, dukungan ilmu yang lebih kuat, dan komunikasi publik yang mencerahkan, konservasi di Jawa Timur bergerak menuju satu tujuan yang sama, untuk menjaga kehidupan tetap berdenyut, bagi manusia, bagi satwa, dan bagi generasi yang akan datang.
Penulis: Fajar Dwi Nur Aji – PEH Ahli Muda BBKSDA Jatim
Editor: Agus Irwanto

